Selasa, 08 Januari 2008

Nyanyian Hati Tanah

Nyanyian Hati Tanah
“ Hai, kawan! Bagaimana kabarmu?. Sudah sangat lama sekali kita tiada pernah berjumpa, kawan!. Ah, kawan! tapi ada apa dengan dirimu gerangan? Kenapa kau kini tampak begitu kurus kering seperti ini?. Sedang sakitkah dirimu, kawan? ataukah kau sedang menghadapi suatu masalah yang begitu pelik selama ini?. Ah, tapi kawan, bukankah setahuku kau selama ini hidup di daerah ibu kota itu?. Bukankah disana manusia – manusianya pada hidup makmur semua?. Aku lihat banyak sekali mobil – mobil mewah berjejer disana. Aku lihat begitu banyak bangunan gedung – gedung megah disana. Aku lihat keglamoran setiap malam disana. Bukankah itu semua menunjukkan bahwa manusia – manuisa ibu kota itu hidup makmur sejahtera?. Ah, tapi kawan! ada apa dengan raut mukamu itu? Kenapa dengan auara wajahmu itu?. Ah, kawan, wajahmu…wajahmu, kawan, wajahmu memancarkan kegersangan yang sangat. Bukankah di ibu kota itu banyak sekali berdiri perusahaan – perusahaan raksasa yang menyediakan begitu banyak lapangan kerja? Bahkan saking banyaknya , menyebabkan tingkat kepadatan di ibu kota itu semakin lama semakin meningkat terus, seolah tiada tanah yang tersisa saja di ibu kota itu. Sementra perusahaan – perusahaan itu masih saja membutuhkan area lagi untuk membuka cabang – cabang demi ekspansi imperium perusahaan – perusahaan mereka. Ah, walhasil kawan, apapun mereka lakukan demi ekspansi imperium perusahaan – perusahaan mereka itu. Kau lihat, kawan! rumah – rumah rakyat mereka gusur, tanah – tanah rakyat mereka sengketa dengan paksa. Ah, begitu kejamnya dunia! Ah, bukan, bukan dunia yang kejam, kawan, tapi…tapi, manusia – manusia tak berperikemanusiaan itulah yang begitu rakus dan kejam. Ah, sudahlah kawan! tapi, ada apa dengan dirimu kawan? tiada kerasankah kau tinggal di ibu kota itu? Ataukah barangkali kau juga menjadi korban keganasan manusia – manusia ibu kota itu?. Ayolah, kawan! ceritakanlah kepadaku”.
“ Ah, kawan! pertanyaanmu sebegitu banyaknya. Kau menggelontoriku dengan pertanyaan – pertanyaanmu itu. Kau kini layaknya seorang wartawan saja, kawan!”
“ Ah, kawan! maafkan aku. Kita kan sudah sangat lama sekali tiada pernah bercakap – cakap sepertti ini. Aku rindu kepadamu, kawan!. karena itulah, kawan, aku curahkan segala kerinduanku ini kedalam bentuk pertanyaan – pertanyaan itu. Ah, aku tadi memang terlalu semangat dan menggebu – gebu, kawan!. ah, sudahlah, kawan. Kini, kau ceritakan sajalah kepada kawanmu ini apa yang membuatmu tampak kurus kering dan gersang seperti ini, kawan?!”.
“ Ah, terima kasih, kawan. Kau begitu perhatian akan keadaanku, tidak seperti manusia – manusia ibu kota itu, kawan! ”
“ Ah, ada apa gerangan dengan manusia – manusia ibu kota itu, kawan?!. Apa yang telah mereka lakukan terhadapmu, kawan?!. Kau tampaknya begitu murka dengan mereka, kawan!. Wajahmu memancarkan aura kemurkaan itu, kawan!”
“ Ah, kau memang betul, kawan. Aku memang benar – benar jengkel, marah, murka dengan mereka. Mereka itulah yang telah membuat diriku kurus kering dan gersang seperti yang kau lihat ini, kawan. Mereka dengan seenaknya saja memanfaatkan diriku, mereka mendirikan bangunan gedung – gedung megah di atasku, mereka membangun supermarket – supermarket di atasku, tapi mereka sama sekali tidak peduli dengan kondisiku. Meskipun satu sisi harga diriku semakin mahal dan tinggi di banding harga dirimu yang tinggal di pedesaan, kawan, tapi di sisi yang lain aku merasa tiada ada bedanya dengan seorang pelacur – pelacur ibu kota yang bertarif mahal itu. Ah, tapi, aku pikir para pelacur ibu kota itu lebih baik nasibnya dari pada aku. Mereka menjual harga diri mereka, lalu mereka mendapat uang melimpah dari para lelaki hidung belang yang membookingnya, mereka masih sempat menikmati uang itu, mereka masih bisa merawat kecantikan dan kemolekan tubuhnya dari uang yang diperolehnyua itu. Ah, tapi kawan! coba kau bayangkan, apa yang aku dapat dari manusia – manusia industrialis dan kapitalis itu?!. Mereka toh hanya mencari profit keuntungan belaka dengan memeras sumber dayaku, kawan!. Aku tiada pernah mendapat sepeserpun dari mereka yang telah memeras habis – habisan sumber dayaku. Mereka tiada pernah sedikitpun menyadari bahwa aku ini adalah bagian dari keseimbangan alam raya ini yang harus dijaga dan dilestarikan. Kau lihat kawan!, banjir besar yang melanda sebagian besar wilayah ibukota beberapa waktu yang lalu itu, secara tidak langsung merekalah penyebab semua itu. Banjir itu akibat dari ulah mereka sendiri, dan mereka sendiri pulalah yang menanggung akibatnya. Tapi, meskipun begitu, dalam hati, aku sungguh merasa sangat sedih sekali, kawan!. Aku merasa tiada bisa menolong mereka – mereka yang sama sekali tiada tahu menahu soal penyebab terjadinya banjir itu. Seharusnya aku mampu menyerap luapan air banjir itu masuk kedalam tubuhku. Tapi, bagaimana mungkin aku melakukanya, kawan!, sementara manusia – manusia tak tak tahu diri itu telah memasang paving – paving di atas tubuhku, menjadikan diriku ini kering, keras dan gersang sehingga ketika banjir itu melanda aku sama sekali tiada mampu menyerap luapan air itu. Aku sedih, kawan!, aku benar – benar sedih!. Aku, tanah, yang merupakan bagian dari keseimbangan alam raya ini, ternyata sama sekali tiada berkutik sedikitpun ketika bahaya mengancam keseimbangan alam raya ini, kawan!. Ah, aku benar – benar tiada berguna bagi kelangsungan alam ini, kawan!. Aku sama sekali tiada mampu berbuat apa – apa, kawan!. aku hanya bisa menyaksikan luapan banjir itu menenggelamkan sebagian besar kawasasn ibu kota, mematikan kegiatan perekonomian masyarakat, memakan kerugian miliaran rupiah. Ah, aku sama sekali memang tiada berguna!”
“ Ah, sudahlah kawan!. Kau jangan bersedih seperti itu, kau jangan menyalahkan dirimu sendiri, kawan!. Itu sama sekali bukan salahmu, kawan!, itu salah mereka, itu salah mereka sendiri, kawan!”
“ Ah, terima kasih kawan!. Kau memanglah kawan terbaikku. Ah, kawan, tapi aku benar – benar iri kepadamu kawan!. Kau dulu tampak segar bugar, kini kaupun masih terlihat segar bugar pula seperti sedia kala. Apakah sebegitu nyamankah tinggal di pedesaan, kawan?!. Bukankah yang kudengar dari manusia – manusia ibu kota itu bahwa manusia – manusia di pedesaan itu begitu bodoh, lugu, dan tak berpendidikan pula, sehingga mudah saja bagi para pejabat – pejabat korup itu untuk memanipulasi mereka. Betulkah itu kawan?!. Lalu, jika mereka itu memang bodoh, tapi kenapa mereka masih bisa menjagamu, merawatmu, dan melestarikanmu sehingga kau masih tampak segar bugar seperti ini kawan?!”
“ Ah, kau betul kawan! dan apa yang diucapkan manusia – manusia ibu kota itu memang betul adanya, kawan. Sebagian besar dari mereka memang tidak berpendidikan, tapi setidaknya mereka masih bermoral dan berperikemanusiaan daripada manusia – manusia ibu kota yang katanya intelek dan berpendidikan itu, tapi kenyataanya moral dan perikemanusiaanya sudah terkikis oleh budaya industrialis dan kapitalis. Bahkan, bisa dibilang mereka sudah tiada bermoral lagi sekarang. Manusia – manusia pedesaan itu masih peduli dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Mereka masih peduli menjaga kelestarian, keasrian, dan keseimbangan alam pedesaan mereka. Sekali – sekali, mainlah ke desaku kawan! kau pasti akan takjub melihat indahnya panorama desa. Kau akan menemui pemandangan alam kehijau – hijauan yang begitu menyejukkan mata. Kau akan merasakan betapa sejuk dan segarnya menghirup udara di pedesaan, kawan!”
“ Betulkah seperti yang kau katakan itu suasananya, kawan?!”
“ Ah, kawan! buat apa aku membohongimu. Kalau kau tidak percaya, ayo! Kau ikut kau sekarang juga melihat suasana di desaku!”
“ Ah, kau kawan! baiklah kalau bagitu. Lagi pula aku sudah merasa sangat jenuh sekali melihat suasana ibu kota yang setiap hari bukanya semakin baik, malah semakin tidak karuan saja. Dadaku ini terasa sesak menghirup udara ibu koa yang penuh dengan polusi. Ah, aku benar – benar rindu akan udara sejuk dan segar seperti yang kau ceritakan itu, kawan!”
***
“ Kawan! kau lihatlah hamparan alam kehijau – hijauan itu, adakah aku berbohong kepadamu, kawan?!”
“ Ah, kau benar kawan! sejuk sekali mataku ini memandangnya. Ah, beda sekali dengan pemandangan di ibu kota itu, setiap hari yang ku lihat hanyalah gedung, gedung, dan gedung saja!”
“ Kawan! kau lihatlah aliran hulu sungai itu! Terlihat bening, bersih, dan sejuk bukan?!”
“ Ah, kau benar juga kawan! menyegarkan sekali melihatnya. Ah, sangat berbeda sekali dengan sungai ciliwung itu, kotor, keruh, kecoklatan, dan penuh sampah pula. Ah, membayangkanya saja sudah terasa sangat menjijikkan sekali!”
“ Kawan! sekarang kau hirup dan nikmatilah udara sejuk dan segar disini!”
“ Ah, kau memang benar, kawan! aaahhh…! Betapa sejuk dan segarnya udara di desamu ini. Segar sekaliii…! Sejuk sekali…!. Ah, beda sekali dengan udara di ibu kota itu, merusak paru – paru saja, bikin manusia cepat mati saja. Ah, tapi…tapi, kawan! Ada apa itu disana?! kau coba lihat pemandangan itu! Kenapa para warga di desamu ini terlihat begitu berkerumun ramai, ada apa gerangan sedang, kawan?! ah, kenapa pula manusia- manusia ibu kota itu juga berada di tengah – tengah kerumunan warga desa itu?! Sedang apakah mereka disini gerangan, kawan?!”
“ Ah, aku juga sama sekali tiada tahu menahu, kawan!. Ayo, kita menguping pembicaraan mereka saja, kawan! kita cari tahu sedang tengkar apa meraka gerangan, kawan!”
“ Ayo…!”
***
“ Heeiii…!!! Bapak jangan macam – macam dengan kamiii…!!! Jangan mentang – mentang kami ini hanya orang – orang kampungan yang tiada berpendidikan, lalu bapak – bapak ini mau seenaknya saja mengakali kami, menggusur rumah – rumah kami, menyengketa tanah – tanah kami! Kami semua membangun rumah – rumah kami ini di atas tanah yang sudah menjadi warisan secara turun temurun sejak leluhur kami dulu.sampai sekarang, dan iniii…!!! Lihat iniii…!!! Kami juga punya bukti – bukti surat kepemilikan atas rumah – rumah dan tanah – tanah kami tersebut…!!!”
“ Maaf, bapak – bapak! Kami sama sekali tiada bermaksud menggusur dan menyengketa rumah – rumah serta tanah - tanah bapak semua, kami hanyalah menjalankan tugas dari bapak – bapak berdasi yang berdiri disana itu, mereka baru saja membeli lahan yang ditempati bapak – bapak ini dari seseorang yang juga memiliki bukti – bukti surat kepemilikan tanah lengkap seperti yang bapak – bapak punya. sekali lagi, kami mohon maaf sebesar – besarnya kepada bapak – bapak semua, kami ini hanyalah menjalankan tugas dari atasan kami belaka.”
***
“ Ah, biadab! Kurang ajar! Tak berperikemanusiaan! Kenapa manusia – manusia ibu kota itu kini melakukan ekspansi ke desaku yang sudah sangat begitu asri ini?! Ah, sengketa lagi, sengketa lagi! Ah, lagi – lagi sengketa! Lagi – lagi sengketa! Dan lagi – lagi rakyat kecil yang kalah. Ah, memang negara ini sudah seperti tiada berhukum saja. Berhukum tapi sama sekali tiada berhukum. Ah, lebih tepatnya negara ini memakai konsep hukum rimba, siapa yang lebih kuat, dialah yang menang dan yang berkuasa.”
“ Ah, tapi, kenapa mereka bisa sampai kesini, kawan?! kenapa pula mereka bisa dengan mudah dan seenaknya sendiri menggusur rumah - rumah warga dan memiliki tanah - tanah itu?!”
“ Ah, kau….! kau…! kau jangan sok pura – pura tidak tahu menahu soal itu, kawan! bukankah kau yang menginformasikan kepada mereka bahwa tanah - tanah di desaku ini masih sangat begitu luasnya untuk membangun imperium perusahaan – perusahaan manusia – manusia industrialis dan kapitalis ibu kotamu itu?! Bukankah kau ada di balik semuanya ini, kawan?! kau lakukan ini semua karena kau iri padaku, bukan?!”
“ Tidak, kawan! sama sekali tidak! Aku memang iri dengan nasib baikmu, tapi aku sama sekali tiada pernah berpikir untuk melakukan tindakan bodoh dan konyol itu, kawan! aku tiada sekejam dan serakus manusia – mnusia ibu kota itu sama sekali!”
“ Ah, bukankah lingkungan dimana kita tinggal sangat mempengaruhi pola pikir kita?! kau sudah sekian lama hidup dan tinggal di ibu kota itu, dan kau kini sama saja dengan mereka!”
“ Ah, kawan! janganlah kau menuduhku yang bukan – bukan seperti itu! Percayalah padaku, kawan! percayalah!”\
“ Baiklah! Aku akan percaya kepadamu, tapi dengan syarat, kau juga harus ikut aku mengamuk membabi buta manusia – manusia ibu kota kurang ajar itu! Aku benar – benar telah murka dengan mereka!”
“ Maksudmu kita membuat gempa seperti di jogja kemarin?!”
“ Ya! Aku ingin manusia – manusia angkuh dan sombong itu tahu bahwa mereka tiada apa – apanya dibandingkan dengan kekuatan alam raya ini. Aku ingin merobohkan bangunan gedung – gedung dan perusahaan – perusahaan mereka! Biar mereka juga merasakan bahwa betapa pedihnya jerit tangis rakyat kecil yang rumah dan tanahnya mereka gusur dan sengketa!”
“ Baiklah! Aku juga sangat setuju denganmu, kawan!”
Lalu…
Tiba – tiba tanah bergetar dengan dahsyatnya…
Sebuah gempa besar telah terjadi…
Sebuah kota luluh lantak rata dengan tanah…!!!
Jakartakah itu…???
***

Lelaki Dalam Pasungan

Lelaki dalam pasungan
Sebuah mobil mercy hitam mewah berhenti tepat di depan sebuah gedung megah yang menjulang tinggi. Seorang office boy terlihat bergegas membukakan pintu mobil mercy itu. Tak lama kemudian seorang lelaki berpenampilan rapi dan necis tampak keluar dari dalam mobil. Usianya memang sudah tidak bisa dibilang muda lagi, namun wajahnya tetaplah memancarkan pesona dan kharisma yang membuat setiap wanita yang memandangnya menjadi bengong terpesona akan ketampanannya. Posturnya yang tinggi dan atletis semakin menambah pesonanya itu dibalik penampilannya yang eksekutif layaknya direktur-direktur perusahaan lainnya.
“Pagi, pak.” Sapa office boy itu dengan sopannya sambil sedikit membungkukkan badan setelah membukakan pintu mobil.
“Pagi juga.” Jawabnya diikuti senyumnya yang ramah.
“Pagi, pak.” Seorang office boy yang lainnya kembali menyapanya dengan begitu sopannya setelah membukakan pintu masuk utama bangunan megah menjulang tinggi yang berada di bawah kendali tangannya itu.
“Pagi juga.” Jawabnya ringan kembali disertai senyumnya yang ramah.
“Pagi, pak.”, “Pagi, pak.”, dan “Pagi, pak.” Semua anak buahnya menyapanya dengan sopan dan hormat. Dan, seperti sebelum-sebelumnya dia pun tetap sudi membalas sapa para anak buahnya itu dengan senyumnya yang ramah dan wajah cerianya. Senyum dan keceriaan yang terasa begitu tulus ikhlas, bukan sekedar senyum dan keceriaan yang dipaksa-paksakan, meskipun sebenarnya dibalik senyum ramah dan keceriaan wajahnya itu, tersimpan sebuah duka lara mendalam di lubuk hatinya.
Memang dimanapun berada, sudah selayaknya dan sepantasnya jika anak buah menghormati sang bosnya. Seperti halnya yang dilakukan oleh para orang-orang di kantor itu terhadap pria yang satu ini. Namun penghormatan yang diberikan oleh mereka bukan sekedar isapan jempol belaka, bukan sekedar pura-pura belaka lalu dibelakang sang bos mereka justru ngegrundel menjelek-jelekkan sang bosnya itu, dan bukan pula sekedar aksi menjilat dan caper belaka kepada sang bos agar gajinya dinaikkan lah, agar jabatannya dinaikkan lah ataupun agar tidak jadi dipecat. Mereka menghormati pria yang satu ini bukan karena di otak mereka sudah tertulis bahwa dialah bos mereka, tapi karena mereka berpikir pria yang satu ini memang layak dan pantas untuk dihormati bahkan melebihi posisinya sebagai seorang direktur di perusahaan itu.
Dia memanglah seorang yang memegang jabatan tertinggi di perusahaan itu. Namun, tidak seperti perilaku bos-bos perusahaan lainnya yang terkesan sombong dan angkuh, dia tetap bersikap ramah kepada setiap anak buahnya dari yang paling atas sampai yang paling bawah para officeboy sekalipun. Sikap ramahnya itu ditunjukkan dari senyum ramahnya yang tulus kepada siapa saja di kantor itu. Dimata para anak buahnya, dia adalah seorang bos yang begitu peduli dengan seluruh bawahannya tanpa membeda-bedakan jabatan. Dia juga tidak segan untuk sekedar berbaur dan berceloteh ringan dengan para anak buahnya itu. Lagi, dia juga tidak gengsi dan jaim untuk sekedar makan siang bareng dan minum teh bareng dengan para office boy, lalu bercanda tawa dengan mereka melepaskan kepenatan kerja, lalu layaknya seorang bapak yang bersedia mendengarkan segala keluh kesah anak-anaknya, dia pun juga bersedia mendengarkan curhat dan keluh kesah berbagai problema yang dihadapi para anak buahnya itu, bukan hanya masalah yang dihadapi di sekitar kantor saja, tapi juga masalah pribadi yang sedang mereka alami, baik itu masalah ekonomi ataupun masalah keluarga. Dan seperti halnya seorang ayah, dia pun tak sekedar menjadi pendengar setia bagi mereka, tetapi juga memberikan nasehat-nasehat dan masukan-masukan bagi mereka dan bahkan memberikan bantuan materi yang nyata bagi mereka yang sedang mengalami kesulitan ekonomi.
Karena sikap-sikapnya itulah dia begitu sangat disegani oleh para bawahannya. Dia begitu dihormati bukan hanya sebagai seorang direktur perusahaan, tetapi lebih jauh dari pada itu dia begitu dihormati layaknya seorang anak menghormati bapaknya karena memang sifatnya yang begitu kebapakan dan familiar terhadap semua anak buahnya. Dia selalu menanamkan, menganjurkan dan memberi contoh agar semua elemen di kantornya itu saling menganggap seperti saudara dan keluarga sendiri yang harus saling membantu, tolong menolong dan kerja sama Sifatnya itulah yang membuat suasana di kantor itu serasa seperti suasana sebuah keluarga besar yang rukun dan dialah bapaknya. Begitulah kredibilitas dia sebagai seorang bos di kantor di mata para bawahannya.
Namun, kredibilitasnya di rumah sebagai seorang kepala keluarga, tidaklah setali tiga uang dengan apa yang dia peroleh di kantor dari para anak buahnya itu. Di rumahnya yang juga megah bak istana itu, dia tak lebih dari sekedar seorang suami yang begitu tunduk kepada segala perintah sang istri. Lain di kantor, lain pula di rumah. Di kantor dia dihormati bak seorang raja, namun di rumah dia tak lebih dari sekedar bak seorang laki-laki pecundang yang menjadi pesuruh dan di bawah kendali sang istri. Dia tak lebih dari sekedar seorang lelaki dalam pasungan di rumahnya yang begitu megah bak istana itu.
“Kau memang seorang direktur ternama dan begitu dihormati oleh para anak buahmu. Kau memang seorang direktur yang begitu disegani oleh para klien dan kalangan bisnis negeri ini. Tapi itu diluar. Di rumah ini, akulah yang berkuasa. Akulah yang berhak mengatur segalanya di rumah ini. Dan, kau! Kau tak lebih dari sekedar seorang suami yang harus tunduk dan patuh kepada istrimu ini. Ha…ha…ha…!” ucap istrinya disusul tawanya yang menggema ke seluruh ruangan memekakkan telinga.
Sementara dia, dia hanya bisa geleng-geleng kepala saja melihat tingkah laku istrinya itu. Dia hanya bisa pasrah kepada nasibnya itu, nasib berada di bawah kendali dan keotoriteran sang istri. Karena itu pula, di rumah megah yang bak istana itu, dia lebih sering terlihat akrab bercengkerama dengan para pembantunya. Para pembantunya sering merasa trenyuh dan bahkan menggerimis hatinya melihat perlakuan juragan wanitanya terhadap juragan prianya itu. Kadang mereka memberi masukan kepada juragan pria agar sekali-kali melawan keberingasan juragan wanita.
“Maaf, juragan, bukannya saya berniat lancang mencampuri urusan rumah tangga juragan, tapi saya betul-betul kasihan dan tidak tega melihat juragan diperlakukan seenaknya seperti itu oleh istri juragan.” Kata Pak Soleh yang merupakan sopir pribadinya itu.
“Gak apa-apa kok, pak. Justru saya merasa senang kok, karena itu pertanda bapak peduli dan perhatian sama saya. Tapi? Sudahlah, pak. Dia memang pantas memperlakukan diri saya seenaknya sendiri seperti yang sering bapak lihat. Saya ini toh sebenarnya hanya orang miskin saja sebelum menjadi suami juragan wanitamu itu. Itupun hanya karena tak lebih dari sekedar untuk menyelamatkan mukanya dari aib malu karena hamil tanpa suami meskipun akhirnya dia mengalami gugur kandungan. Dan, itupun juga kebetulan karena saya dianugerahi wajah dan postur yang kata para wanita tampan dan gagah. Seandainya saya ini berwajah jelek dan bertubuh pendek, tidak mungkin dia mau menikah dengan saya, pak.”
“Ooo….” Pak Soleh terlihat mengangguk-angguk.
“Maaf, juragan, saya baru tahu kalau dulunya seperti itu.”
“Gak apa-apa kok, pak. Anggap saja kita semua ini satu keluarga. Dan, anggap saja saya ini sedang curhat kepada bapak, karena bapaklah orang yang paling saya percaya bisa menyimpan baik-baik rahasia ini.”
“Insya allah, juragan. Saya akan berusaha menyimpan baik-baik rahasia ini. Tapi, juragan, bukannya selama ini juragan lah yang berhasil mengembalikan stabilitas dan bahkan mengembangkan bisnis perusahaan warisan almarhum bapaknya juragan wanita? Seharusnya juragan wanita lebih menghargai diri anda kerena jasa anda itu.”
“Bapak benar. Dan, sebenarnya saya juga berpikiran sama seperti bapak, cuma saya masih menunggu waktu yang tepat untuk itu. Maaf, pak, sudah larut malam, saya pengen istirahat. Badan saya sudah terasa capek dan pegel-pegel nih, pak.”
“Oh, iya juragan. Silahkan.”
Lalu lelaki yang dipanggil juragan itu segera berlalu menuju kamarnya. Sementara malam itu hujan turun dengan derasnya. Udara juga terasa dingin menusuk pori-pori kulit. Sesampainya di kamar, dia mendapati istrinya telah terbaring pulas di tempat tidur. Dia sendiri memutuskan untuk tidak langsung tidur, melainkan duduk di atas sofa yang ada di salah satu sudut ruangan kamar itu. Dari arah situ, dia tampak tertegun mengamati wajah istrinya yang terlihat sangat pulas sekali.
“Ah, kau memang cantik. Sangat cantik bahkan. Tapi, sayang, kenapa kau tidak mau lebih sedikit menghargai diriku ini. Bukankah aku ini sudah menjadi suamimu yang sah?” Gumamnya dalam hati.
Lalu dia kembali mengamati tubuh istrinya yang terbaring lelap di atas tempat tidur itu. Pakaian tidur yang dikenakannya sedikit transparan yang membuat lekuk tubuhnya terlihat sehingga menggugah hasrat kelelakiannya. Sementara istrinya yang tidak tahu menahu kalau dirinya sedang diamati oleh suaminya itu, tiba-tiba merubah posisi tidurnya dari yang semula miring ke kiri menjadi miring ke kanan. Bagian bawah pakaian tidurnya tampak sedikit tersingkap setelah itu. Pahanya yang putih mulus pun terlihat dengan jelas.
“Ah, kau memang wanita yang sempurna. Wajahmu cantik dan ayu. Tubuhmu juga indah. Dan, ah, pahamu itu benar-benar putih dan mulus, benar-benar menggugah seleraku.” Gumamnya kembali dalam hati.
Sebagai lelaki normal, siapa yang tidak akan tergugah hasrat biologisnya jika di hadapannya terbaring wanita cantik, bertubuh indah dan bagian bawah pakaian tidurnya sedikit tersingkap. Bahkan wanita itu adalah tak lain dan tak bukan istrinya sendiri yang sah. Namun apa mau dikata. Istrinya toh sama sekali tidak menghargainya. Istrinya toh memperlakukan dirinya dengan seenaknya sendiri. Istrinya toh yang berkuasa di rumah itu. Istrinya telah menjadi seorang ‘suami’ di rumah itu, sementara dia telah menjadi seorang ‘istri’ yang harus patuh pada sang ‘suami’. Segalanya diatur oleh istrinya. Bahkan urusan nafkah bathin pun istrinya yang menentukan. Jangan harap dia bisa menikmati kehangatan tubuh istrinya itu jika bukan istrinya sendiri yang memintanya. Meskipun hasrat biologisnya sudah sedemikian memuncak, dia sama sekali tidak berani untuk langsung ‘menerkam’ istrinya. Atau jika dia nekat, maka justru caci maki dari istrinya lah yang bakal dia dapat. Dan, sebaliknya ketika dia sendiri sedang lelah dan tak berselera, sementara istrinya sedang begitu bergairah, maka dengan seenaknya sendiri istrinya itu akan menyuruhnya menjilati seluruh lekuk tubuhnya yang indah itu, memuaskan nafsu birahinya, menuntaskan hasrat biologisnya sampai menggelinjang-gelinjang dan sampai dia sendiri terbaring lemas di atas tempat tidur.
***
Sore itu langit di atas sana tampak kelabu sama halnya dengan langit di hatinya yang juga entah kenapa tiba-tiba saja berubah menjadi kelabu. Mungkin karena mengingat selama ini dirinya yang merupakan seorang direktur yang begitu disegani seluruh bawahannya itu, ternyata tak lebih dari sekedar sosok lelaki pecundang dan pengecut yang sama sekali tak berkutik di hadapan sang istri. Karena itu pula, sepanjang perjalanan pulang ke rumah dari kantor, yang ada di benaknya adalah bagaimana caranya mengungkapkan segala curahan isi hatinya itu kepada sang istri.
Sesampainya di rumah, dia melihat sang istri tampak sedang duduk santai membaca koran di teras depan rumah. Dia memutuskan untuk duduk di sebelahnya.
“Bagaimana keadaan di kantor?” Tanya istrinya dengan nada dingin.
“Baik-baik saja. Segalanya berjalan lancar-lancar saja selama ini.”
“Baguslah kalau begitu.” Timpalnya dengan dingin tanpa mempedulikan orang yang dia ajak bicara. Matanya terfokus pada sebuah kolom pada surat kabar yang sedang dia baca.
“Ada yang ingin aku omongkan ke kamu.”
“Masalah apa?” Tanya istrinya sambil masih tetap fokus pada membaca surat kabar yang ada di tangannya itu. Seolah mengacuhkan keberadaan orang yang dia tanya begitu saja.
Dan, sebenarnya dia juga sedikit tersinggung karena merasa tidak diperhatikan sama sekali oleh istrinya. Namun akhirnya dia memberanikan diri untuk mengungkapkan segala unek-unek yang terpendam dalam-dalam di lubuk hatinya selama ini.
“Aku merasa selama ini kamu sama sekali tidak bisa sedikit pun untuk lebih menghargaiku sebagai seorang suami.”
“Maksudmu?” Tanya istrinya yang mulai memperhatikan orang yang dia tanya, suaminya.
“Maskudku, aku sadar memang aku bukanlah siapa-siapa sebelum menjadi suamimu. Namun, tidakkah kamu bisa lebih sedikit menghargaiku. Bukankah selama ini aku pun telah berjasa menyelamatkanmu dari aib malu sebagai wanita yang hamil tanpa suami? Dan bukankah pula aku juga telah berjasa menstabilkan bahkan memajukan perusahaan warisan almarhum ayahmu itu? Dan, selama ini aku pikir, dengan lebih banyak diam, dan menuruti saja apa perkataanmu, kamu akan menjadi sadar sendiri serta akan menjadi lebih menghargaiku sebagai seorang suamimu. Tapi, kenyataannya kamu justru malah semakin seenaknya sendiri memperlakukanku, mengaturku bahkan mencacimaki dan mengumpat diriku. Sebenarnya kamu anggap apa diriku ini?” Ungkapnya terus terang dengan nada suara yang sedikit meninggi.
Sementara sang istri tampak kaget mendengar keterusterangan suaminya itu. Wajahnya mendadak berubah menjadi merah padam menahan marah. Matanya membelalak Dan, sontak dia langsung berdiri dari tempat duduknya sambil berkacak pinggang siap memarahi balik sang suami.
“Oooo…begitu ya? Jadi kamu kini sudah berani melawan saya, gitu? Jadi sekarang kamu sudah berani merasa sok di depanku? Jadi kamu sekarang sudah mulai berani bicara soal jasamu kepadaku selama ini? Dan, kamu pikir aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpamu, gitu? Kamu pikir aku tergantung kepadamu, gitu? Seharusnya kamu pikir-pikir dulu dong kalau bicara! Seharusnya kamu tuch sadar siapa sebenarnya diri kamu itu? Apakah kamu tidak ingat waktu aku memungutmu dari jalanan? Apakah kamu sudah lupa dengan dirimu dulu yang berpenampilan kusut, kumal dan compang-camping dan hanya untuk mencari sesuap nasi saja susahnya minta ampun, kamu harus ngamen kesana-kemari di jalanan dan di tengah terik matahari. Seharusnya kamu bersyukur dengan keberadaanmu sekarang. Dasar laki-laki tak tau diuntung!” Ucap sang istri dengan judesnya sambil menjungkalkan kepala sang suami dengan jari lentik telunjuknya. Lalu berlalu ke dalam rumah begitu saja.
Sementara sang suami yang ditinggalkannya berlalu kedalam rumah begitu saja itu, tampak terdiam seribu bahasa, apa hendak dikata untuk melawan sang istri karena memang begitulah adanya dirinya dulu, seorang gembel jalanan yang tak punya apa-apa bahkan harga diri sekalipun.
***
Mata lelaki itu tampak menatap kosong ke depan ke arah luar jendela kamarnya dimana dia menghabiskan seluruh hari-harinya disitu. Ya, semenjak dia terkena stroke, akibat stress dan tekanan bathin yang begitu berat, yang menyebabkannya lumpuh total, hari-harinya hanya dia habiskan di dalam kamar itu bersama sebuah kursi roda yang setia menemaninya. Matanya tampak berkaca-kaca teringat akan masa lalunya itu. Bibirnya tampak bergetar. Air matanya tak terasa menetes membasahi pipinya yang sudah tampak keriput dan layu. Sejenak, lalu dia memejamkan kedua matanya. Tangan kanannya tampak bergerak menggapai sesuatu yang tergeletak di atas meja di sampingnya. Sebuah pistol. Ya, sebuah pistol berisi dia lekatkan kuat-kuat tepat ke samping kepalanya.
.

Masih Bisa Cinta

Masih bisa cinta
Matahari sore di seberang lautan luas memang terlihat begitu indahnya bila dilihat dari bibir pantai. Aku duduk termangu sendirian di atas lembutnya pasir pantai Parangtritis menunggu datangnya sunset. Sementara pikiranku entah kenapa tiba-tiba saja teringat ucapan setiap wanita yang ku cintai. Semua laki-laki di dunia ini sama saja. Sama-sama bisanya cuma ngegombal dan merayu doang, sama-sama cuma bisa janji-janji doang, sama-sama gampang sekali ngomong cinta kepada setiap wanita yang ditemuinya. Dasar lelaki! Maunya menang sendiri. Lelaki memang buaya darat. Mereka pandai sekali melambungkan hati setiap wanita yang menjadi korbannya, mereka mahir sekali merayu wanita dengan janji-janji seabrek yang kenyataannya cuma kemprus doang, mereka seolah sudah paham betul bagaimana cara meyakinkan ‘cinta’ kepada setiap wanita yang menjadi korban sifat kebuaya daratannya itu.
Mayoritas kaum hawa pasti akan berpendapat sama seperti di atas tentang seorang lelaki. Ah, betapa hinanya kredibilitas sosok lelaki di mata mereka. Betapa jengkelnya mereka dengan kaum adam sampai-sampai mereka menyamakannya dengan seekor buaya yang merupakan tak lebih dari seekor hewan melata yang buas dan ganas. Memang ada benarnya juga jika mereka para wanita berprasangka buruk seperti itu terhadap lelaki. Gak usah jauh-jauh lah, teman-temanku sendiri juga sering gonta-gonti cewek. Mereka seolah dengan mudahnya mendapatkan cewek yang mereka inginkan. Lalu, habis manis sepah dibuang. Dengan mudahnya mereka bilang ‘cinta’ mati, dengan entengnya pula mereka bilang putus, atau karena sudah gak cocok lah, atau mereka bilang si cewek itu egoislah, atau seabrek alasan yang lainnya yang bisa me’legal’kan sebuah kata yang akan mereka ucapkan kepada si cewek, yaitu ‘putus’. Lalu, hilang satu tumbuh seribu, bersatu kita teguh, bercerai kita kawin lagi kata mereka.
“Ah, bukan salah mereka para wanita jika menganggap semua lelaki di dunia ini sama saja, sama-sama buaya darat. Justru letak kesalahannya ada pada diri para lelaki itu sendiri. Kenapa mereka suka mempermainkan wanita sehingga membuat diri mereka sendiri dicap jelek di mata kaum hawa? Ah, dasar naluri lelaki! Tak pernah lelah mencari wanita.” Gumamku dalam hati, ”ah, tapi? Tapi bukankah aku sendiri ini seorang lelaki? Ya, aku memanglah seorang lelaki, tapi bukankah aku ini tidak seperti mereka para lelaki buaya darat itu? Ah, aku pikir mereka para wanita kurang bijak jika menganggap semua lelaki itu sama saja. Buktinya aku sendiri tidak sama seperti teman-temanku yang suka gonta-ganti cewek itu. Aku sendiri juga sebenarnya tidak setuju dengan ulah teman-temanku itu. Tapi toh kenapa para cewek itu tetap mau menjalin ‘cinta’ dengan mereka? Bukankah mereka para cewek itu juga sudah tahu kalau teman-temanku itu terkenal playboy? Lalu, salah siapa dong kalau begitu? Ah, sudahlah, gak baik saling menyalahkan.”
Aneh juga memang, dan sedikit membingungkan. Bagai makan buah simalakama. Satu sisi kaum hawa mengecap kaum adam sebagai buaya darat yang pandai merayu, pandai ngegombal, pandai ngobral janji, tapi di sisi yang lain kenapa mereka sendiri suka dirayu dan dipuji oleh kaum adam? Kenapa mereka sendiri mau termakan rayuannya dan menjalin ‘cinta’ dengan kaum adam yang telah mereka cap seperti itu? Jadi cowok memang selalu serba salah di mata para cewek. Kalau lagi ngomong puitis dibilang ngegombal, kalau gak puitis dibilang gak romantis. Ah, bingung aku. Maunya apa sih sebenarnya mereka?
“Wuooii…! Ngelamun aja dari tadi.” Si Rio tiba-tiba menepuk pundakku dari arah belakang yang sedikit mengagetkanku, ”ngelamunin siapa sih? Ngelamunin si Vie2 ya? Sudahlah Ki, ngapain juga mikirin cewek yang udah nolak kita, hilang satu tumbuh seribu, gitu donk!” lanjutnya.
Ah, dasar si Rio, mengingatkanku saja dengan si Vie2, si cewek cute n imut yang pernah aku taksir abis itu. Dialah cewek yang terakhir kali kepadanya aku mencurahkan rasa cintaku dengan ungkapan kata-kata yang begitu puitis ala Kahlil Gibran, dan lagi-lagi aku mendapatkan jawaban yang sama, ‘alaah! Ngegombal banget sih loe!’ alias ditolak mentah-mentah. Ah, hidup ini kadang terasa aneh dan membingungkan. Kenapa aku yang selalu memandang serius dalam urusan cinta selalu saja ditolak oleh cewek, sementara teman-temanku yang hanya menganggap Love is just for fun malah seolah mudah sekali mendapatkan cinta yang mereka inginkan? Gak cuma sekali dua kali aku ditolak cewek, tapi berulang kali. Ah, nasib! Dasar nasib, sekali cinta diterima cewek, justru si cewek itu yang mempermainkanku, menghianati cintaku dan terang-terangan berselingkuh dengan cowok lain. Ah, kenapa aku yang mesti menanggung karma dari ulah teman-temanku itu? Ah, bukan! Aku bukannya kena karma dari teman-temanku, tapi zaman sekarang memang telah berubah, ini zamannya emansipasi wanita, Bung! Wanita pun sekarang bisa menjadi wanita buaya darat. Wanita zaman sekarang sudah gak jauh beda dengan para lelaki. Mereka juga sudah menganggap Love is just for fun. Mereka juga bisa dengan mudahnya melambungkan hati sang cowok, lalu membenamkan hatinya jauh-jauh ke dasar jurang kesedihan dengan berpaling kepada cowok yang lain, lalu berpaling lagi kepada cowok yang lainnya lagi dan seterusnya. Ah, sudahlah! Aku gak mau mendramatisir dan larut dalam nasib cintaku. Aku gak akan jatuh cinta lagi pokoknya. I never fall in love again. Love is just a bullshit. Love is only on the cinema. Romantika dan indahnya cinta itu hanya ada di sinetron-sinetron, di film-film dan di novel-novel saja. Di kehidupan nyata? Ah, jangan harap kamu bisa meniru romantika cinta seperti yang sering kamu lihat di sinetron. Yang ada dalam benakku sekarang adalah segera menyelesaikan kuliahku, lalu mendapatkan kerja yang layak guna membiayai sekolah adik-adikku.
Matahari tampak segera kan tenggelam dan seolah saja lenyap ditelan hamparan lautan Parangtritis yang luas. Pertanda hari kan segera berganti malam. Aku pun segera bergegas pulang ke kost bareng sama si Rio. Jarak dari kostku ke Parangtritis memang relatif cukup dekat, karena itu pula aku dan Rio sering menikmati indahnya pemandangan matahari sore sambil sekedar duduk-duduk santai di tepi pantai Parangtritis.
***
“Ki, kamu kan sudah cukup dewasa nak, sudah waktunya kamu mencari pendamping hidup. Lagi pula adik-adikmu sekarang juga sudah bisa hidup mandiri, cuma si Budi yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Masalah biaya sekolah si Budi gak usah kamu pikirkan, nak. Dari hasil bulanan penjualan di kios kita saja sudah cukup kok.” Kata Ibuku.
“Iya mas, betul kata Ibu, mas Uki kan udah hampir berkepala tiga, sudah waktunya mas Uki cari calon istri, ya nggak Na?” Si Fitri adikku yang pertama menimpali sambil meminta persetujuan dari si Nana adikku yang kedua.
“Betul, mas. Lagian aku sama mbak Fitri kan sudah bisa cari uang sendiri sekarang, jadi mas Uki gak usah repot-repot lagi mikirin kita berdua. Terus si Budi kan cuma masih duduk di bangku sekolah dasar, jadi biar kita saja yang gantian menanggung biayanya. Mas Uki kan udah kerja keras banting tulang demi mengkuliahkan kita. Nah, sebagai ungkapan rasa terima kasih kita, mas Uki sekarang gak usah pusing-pusing lagi mikirin uang bulanan rumah dan uang sekolah si Budi. Biar aku sama mbak Fitri saja yang ngurusin. Ya nggak, Bud?” ujar si Nana sambil seolah bercanda meminta pendapat si Budi yang notabenenya masih kecil. Sementara si Budi sendiri cuma ikut-ikutan mengiyakan saja seperti kedua kakaknya itu.
“Iya mas, mas Uki cepetan nikah saja. Mas Uki gak usah mikirin Budi deh. Ntar Budi mau kerja cari uang sendiri biar gak ngerepotin mas Uki lagi” ujar si Budi polos disambut gelak tawa seisi rumah.
“Tuch, kamu udah denger sendiri kan pendapat adik-adikmu, mereka juga pengen segera punya kakak ipar, dan ibumu ini kan sudah cukup tua, jadi sudah gak sabar lagi pengen segera punya cucu.” Ibuku kembali angkat bicara.
Ah, waktu memang terasa begitu cepat berjalan. Tanpa ku sadari sudah hampir lima tahun berlalu setelah aku melepaskan statusku sebagai seorang mahasiswa. Dan selama itu pula semenjak kepergian almarhum ayahku, akulah yang harus menjadi kepala keluarga kerja keras membanting tulang demi mengkuliahkan kedua adikku. Terbersit rasa haru bercampur bangga dan bahagia di hati ini karena aku ternyata mampu menggantikan posisi ayahku sebagai kepala rumah tangga. Namun, selama itu pula, selama menyibukkan diri berkecimpung dengan dunia kerja, tak bisa kubohongi ada yang terasa kurang dan kosong di lubuk hatiku yang terdalam. Selama itu tak pernah sekalipun ada seorang wanita yang singgah di hatiku. Tapi aku anggap wajar-wajar saja karena selain diriku masih trauma dengan yang namanya cinta, aku sendiri waktu itu memang harus fokus total pada keluargaku. Waktu, tenaga, dan pikiran aku curahkan hanya untuk keluargaku. Everything is for my family only. Tapi, sekarang sudah lain ceritanya. Segalanya telah berubah seiring berjalannya waktu. Kedua adikku sudah bisa mandiri. Sementara usiaku juga sudah mulai beranjak kepala tiga. Ibuku juga sudah pantas untuk dipanggil ‘nenek’. Ah, ada benarnya juga pendapat ibu dan adik-adikku itu. Sudah waktunya bagiku untuk mengakhiri masa lajangku. Dan, lagi pula semua teman-teman seangkatanku juga sudah pada menikah, bahkan juga sudah ada yang punya momongan. Ah, segalanya memang telah berubah. Karena perubahan memang hanya soal waktu. Tapi kenapa perasaanku tetap saja belum bisa berubah. Pengalaman cinta masa laluku seolah membuatku paranoid akan cinta.
Aku termenung sendirian sambil berbaring di tempat tidur memikirkan lika-liku kehidupanku sendiri. Seharian kerja membuat otak dan tubuhku ini terasa penat dan lelah. Namun, kata-kata ibu dan adik-adikku serta para kerabat dan tetangga dekatku membuat mata ini sulit terpejam. Ah, biarlah mereka mau bilang apa, terserah mereka, itu hak mereka, itu juga pertanda mereka peduli denganku. Dan lagi pula mereka juga sama sekali tidak tahu menahu apa yang sebenarnya ada di hatiku. Mereka juga tidak tahu pengalaman masa laluku itu seperti apa. Ah, perubahan memang hanyalah soal waktu. Biarlah waktu yang kan merubah segalanya. Biarlah waktu yang menjawabnya. Dan biarlah waktu pula yang kan mempertemukanku dengan pendamping hidupku kelak.
Dua buah lagu Bang Iwan Fals yang berjudul ‘Masih bisa cinta’ dan ‘Yang cinta’ mengantarkanku ke dalam tidur lelap di balik keheningan malam yang semakin sunyi. Sementara sebuah lagu lama dari Dewa 19 yang berjudul ‘Cinta kan membawamu kembali’ yang terdengar samar-samar di telingaku karena kedua mata ini sudah mulai tertutup rapat, semakin membenamkanku ke dalam lelapku serta menenggelamkanku ke dalam sebuah mimpi. Ya, sebuah mimpi yang merupakan suatu titik tolak perubahan dalam kehidupanku, terutama kehidupan cintaku.
***
Di sebuah pasar loakan buku itu, kedua bola mataku tiba-tiba terbelalak ketika melihat sesosok wanita yang pernah ku kenal, bahkan lebih dari itu juga pernah hadir dan bersemayam dalam lubuk hatiku. Aku pun berubah menjadi sedikit salah tingkah ketika kedua bola matanya juga menatap tajam ke arahku. Kami berdua saling pandang hingga akhirnya aku putuskan untuk menyapanya lebih dulu.
“Vie2 ya?” sapaku.
“Uki ya?” dia balik menyapaku. Lalu kami berdua pun saling berjabatan tangan, saling bertanya kabar, dan saling bercerita tentang aktifitas kami masing-masing selama ini.
Sudah sangat lama sekali aku tiada pernah berjumpa dengannya setelah pertemuan terakhirku dengannya di acara wisuda itu. Kurang lebih hampir lima tahun. Empat tahun lamanya kami menghabiskan waktu bersama-sama di bangku kuliah. Kami dulu memang selalu terlihat akrab berdua karena karena kebetulan kita satu jurusan dan satu kelas pula. Lagi pula kami juga merasa cocok satu sama lain. Dimataku dia adalah sosok wanita yang selalu nyambung serta enak diajak ngomong dan juga enak dijadikan teman diskusi. Karena itu pulalah akhirnya tumbuh benih-benih cinta di hatiku kepadanya. Dan aku pun berpikiran kalau dia juga merasakan hal yang sama sepertiku. Namun, ternyata dugaanku salah. Dia justru malah menolak cintaku mentah-mentah. Sejak saat itu, hubungan kami berdua pun menjadi semakin renggang. Kami pun jarang terlihat akrab seperti sedia kala. Ketika berpapasan pun kami berdua menjadi terlihat sama-sama kaku dan kikuk seolah saling terbersit rasa risih di hati kami masing-masing.
Ah, tapi kan itu dulu. Itu kan cuma sekadar sekelumit kenangan masa lalu. ‘dulu’ dulu, ‘sekarang’ sekarang. Yang telah berlalu biarlah berlalu, gak usah diungkit-diungkit lagi. Dan, kini kami berdua juga sudah sama-sama lebih dewasa dalam menyikapi sesuatu. Ah, tapi? Bukankah dia itu wanita yang terakhir kali kepadanya aku mengungkapkan cintaku? Meskipun akhirnya aku ditolak. Dan, bukankah setelah itu belum ada seorang wanita pun yang hadir kembali ke dalam hatiku menggantikan posisi dirinya? Ah, aku memang tidak bisa berbohong kepada diriku sendiri. Aku memang cinta mati kepadanya. Bahkan sampai sekarang pun, sampai selama ini pun benih-benih itu masih ku rasakan ada di hatiku. Ah, Vie2. Kau masih tetap cantik dan manis seprti dulu. Kau masih tetap terlihat imut seperti sedia kala.
“Eh, denger-denger teman-teman seangkatan kita udah pada nikah semuanya ya? Bahkan udah ada yang punya momongan juga katanya. Kamu sendiri gimana, Ki?” tanya dia.
“Aku belum nikah kok, Vie.” Jawabku ringan.
“Tapi udah ada calonnya kan?” Tanyanya kembali.
“Belum juga. Terus kamu sendiri?” Aku balik tanya.
“Aku juga belum nikah kok, Ki”
“Tapi udah ada calonnya kan?” Tanyaku meniru pertanyaan yang dilontarkannya kepadaku.
“Belum juga.” Jawabnya sambil senyum tersipu.
Ah, jawaban itu seolah terasa seperti angin sepoi nan sejuk yang menusuk ke hatiku. Seolah ada sekelumit rasa bahagia dan senang mendengar jawaban darinya itu. Rasa cinta dalam hatiku yang telah sekian lama terpendam seolah kembali bersemi. Dan, entah pula kenapa tiba-tiba saja aku memberanikan diri untuk memegang kedua tangannya sembari mengungkapkan keinginanku.
“Maukah kamu menikah denganku.”
Ku tatap tajam-tajam kedua bola matanya yang menampakkan sedikit rasa keterkejutan. Namun di balik itu aku bisa melihat secercah sinar binar dari kedua bola matanya itu yang seolah membisikkan kata ‘iya’ kepadaku meskipun belum terucap kata itu secara langsung dari bibirnya. Cukup lama kami bertatap mata, cukup lama pula aku menunggu kata ‘iya’ terucap dari bibirnya yang memerah indah. Tapi dari lubuk hatiku yang terdalam aku benar-benar yakin dia akan mengucapkannya. Karena diamnya seorang wanita berarti setuju. Dan……
“Kkrrriiiinnnggggg…!!!” Terdengar bunyi nada dering dari handphoneku yang membuyarkan suasana. Ah, bukan. Itu sama sekali bukan suara dari handphone, tapi….
Aku tergeregap kaget. Aku terbangun dari tidurku karena bunyi jam waker yang begitu kerasnya. Ah, aku cuma bermimpi saja rupanya.
Aku masih saja duduk termangu di atas tempat tidur memikirkan mimpi yang ku alami itu. Ah, apa sebenarnya makna mimpi itu? Ponselku tiba-tiba berdering. Ada satu pesan baru masuk. Aku sedikit kaget ketika melihat nama ‘Vie2’ terpampang di daftar pesan masuk di layar ponselku. Ku buka dan ku baca sebuah sms tiba-tiba darinya itu.
“hi uki, pa kbr? Dah lama bgt ya Qta ga prnah saling krm kbr. Dah sukses ne skrg? Eh, denger2 tmn2 seangkatan Qta dah pd nikah ya? & malah dah ada yg pnya anak jg katanya. Km sndri gmn ki? Dah nikah blm? Kalo aq blm nikah ki, soalnya blm ada calonnya gitu. Mo daftar jd calonnya ga ki?Formulirnya masih banyak tuch, soalnya blm ada yg daftar sm sekail, gituuu. He…he…he…”
Aku tersenyum membaca sms darinya. Dan, kali ini aku bukan cuma sekedar bermimpi lagi. Kali ini segalanya benar-benar ku rasakan nyata adanya.
***

Jeneng Kulo Segawon

Jeneng Kulo Segawon1
Jeneng kulo Segawon. Ya, nama saya Segawon. Tapi, ah!, apalah artinya sebuah nama bagiku. Toh, nama itu tak lebih dari sekedar busana yang melekat pada tubuh kita untuk menutupi aurat. Toh, nama itu tak lebih dari sekedar suatu simbol formalitas belaka, sekadar sebagai embel – embel panggilan kita, sekedar untuk mengisi formulir Akte Kelahiran, sekedar untuk mengisi formulir pembuatan Kartu Pelajar, sekedar untuk mengisi formulir pembuatan Kartu Tanda Penduduk, sekedar untuk mengisi formulir pembuatan Surat Izin Mengemudi, sekedar untuk mengisi formulir – formulir yang lain. Bahkan, seandainya dalam kehidupan negara kita yang serba mengedepankan simbol dan formalitas ini, tidak ada persyaratan harus mengisi formulir ini lah, formulir itu lah, dan segala macam tetek bengek formulir – fprmulir yang lain, mungkin saya akan lebih memilih nama “ Belum Ada Nama ” untuk nama diri saya, seperti halnya judul “ Belum Ada Judul ” untuk lagunya Mas Iwan Fals.
Ah, tapi, bukankah orang – orang itu bilang kalau nama itu adalah sebuah do’a, sebuah pengharapan orang tua akan anaknya kelak. Dan, bukankah orang jawa juga bilang kalau Ajining Rogo Ketingalan Soko Busono. Bahwa kemulyaan diri kita itu terlihat dari cara kita berpakaian. “ Ah, masa bodoh dengan konsep – konsep nama itu! Biarin saja orang – orang mau berkomentar apa tentang namaku, elek – elek ngene yo jenengku dewe. Opo urusanmu! Lak karepe wong tuwoku tho arep aweh jeneng anake opo?! ”2 jawabku mengomentari orang – orang yang setiap kali bertemu denganku selalu saja mengomentari hal ihwal tentang namaku.
Ah, bukankah banyak orang yang bernama baik dan bagus tapi toh kelakuannya bejat, hina, menjijikkan, tak lebih hina dari seekor segawon itu sendiri, kencing di sembarang tempat, berdiri lagi, suka menggonggongi orang lain, bersenggama terang – terangan di muka umum tanpa ada rasa risih dan malu sedikitpun dengan lingkungan sekitarnya. Ah, bukankah lebih baik diriku ini, bernama segawon tapi kelakuanku masih manusiawi.
Bukankah banyak juga orang yang berpenampilan bagus, necis, dan rapi, tapi toh kelakuanya tak lebih licik dari seekor tikus werog yang selalu saja diam – diam merusak padi para petani yang sudah menguning hendak dipanen. Tak peduli dia, apakah petani itu miskin. “ Ah, miskin itu kan sudah menjadi suratan takdir baginya. Ya, terima sajalah! Jalani saja dengan nerima dan sabar. Bukankah orang sabar itu disayang sama Tuhan?! ” kata tikus werog itu enteng. Lagi, tak peduli dia, berapa banyak materi yang telah dikeluarkan untuk membeli pupuk, betapa peras keringat banting tulangnya para petani itu mengolah sawah mereka. “ Ah, itu kan urusan mereka sendiri, ya jangan disangkut pautkan dengan diriku lah! Kalau saya tidak memakan padi mereka, terus saya harus memakan apa?! Masa saya harus memakan atasan saya, si ular – ular itu, justru sebaliknya, si ular – ular itulah yang memakan saya, lalu saya yang memakan padi para petani itu. Ya begitu itu Hukum jaring – jaring kehidupan, saling makan – memakan, yang atas makan yang bawah, yang bawah makan yang bawahnya lagi, dan begitu seterusnya. Ah! Jangan sok berbicara tentang Hukum dan Undang - undang lah! Apa itu Hukum?! Apa itu Undang – undang?! Yang ada ya Hukum dan Undang – undang alam itu, yang kuat ya dialah yang menang dan yang berkuasa. Lagian, ya memang sudah nasibnya para petani seperti itu, terus mau bagaimana lagi?! Mau berdemo kah?! Mau mengkasuskan ke meja hijau kah?! Mau berkeluh kesah kepada pemerintah kah?! Percuma saja! Ga bakal ada hasilnya! Sudahlah! Terima saja nasibmu itu! Jalani saja lah!” kata tikus werog itu enteng seolah tiada merasa berdosa sedikitpun.
Lagi, banyak mereka yang berpenampilan bagus, rapi, dan necis itu, tak lebih kejam dan rakus dari seekor tikus werog yang selalu saja mengendap – endap mencuri jatah makanan si penghuni rumah. Tak peduli dia, apakah si penghuni rumah itu melarat. Tak peduli dia, kalau makanan yang dia curi itu adalah jatah makan hanya sehari sekali bagi si penghuni rumah itu, eh, masih diembat juga. Dasar binatang! Ah, betapa rakusnya kau tikus! Bukankah kau lihat perutmu sudah sedemikian buncitnya?! Ah, tapi, ada yang membuatku salut dan kagum kepadamu, wahai tikus! Meskipun perutmu itu sudah sebegitu tambun dan buncit, tapi kau masih saja bisa berkelit melarikan diri jika kau kepergok dengan si penghuni rumah. Bahkan, kau pun masih saja bisa melepaskan diri dari perangkap yang dipasang oleh si penghuni rumah untuk menjebakmu. Ah, kau memang cerdik tikus!. Kau memang pandai sekali!. Ah, tapi sayang kecerdikan dan kepandaianmu itu kau gunakan untuk hal – hal picik seperti itu. Ah., bukankah lebih baik diri saya ini, saya ini toh hanya orang miskin desa yang tiada punya setelan baju yang bagus, rapi, apalagi necis, tapi setidaknya saya lebih bermoral dan berperikemnausiaan lah!
Tapi, bukankah suatu nama yang bagus dan indah itu bisa membuat orang tertarik kepada yang punya nama?!. Seperti halnya sebuah buku yang dikemas dengan cover dan judul yang begitu menarik, sehingga membuat kita ingin sekali membelinya. “ Ah, masa bodoh orang mau bilang apa tentang konsep – konsep nama itu! ”. Bukankah banyak juga buku – buku yang dikemas dengan cover dan judul yang sedemekian menariknya tapi toh isinya tak lebih dari sekedar buku biasa yang bahkan tak berbobot sama sekali. Ah, lagi - lagi bukankah lebih baik berpenampilan seperti saya ini, nama jelek, penampilan juga sama jeleknya, tapi paling tidak saya lebih sedikit berisi dan berbobot lah!
Tapi, bukankah nama itu…. “ Alaahhh…!!! Masa bodoh dengan konsep – konsep nama itu. Karepmu arep ngomong opo! Jenengku yo segawon kuwi.3 Di akte kelahiranku, KTPku, SIMku, namaku ya segawon itu.”
“ Ah, kau Segawon! Kau kini telah tumbuh menjadi pemuda dewasa. Kau kini sudah mampu bermasa bodoh, beretorika, beralasan dengan orang – orang yang selalu saja mengejek serta menertawakan namamu itu. Tidakkah kau ingat, Segawon? waktu kecil kau selalu saja menangis, lalu langsung pulang ke rumah mengadu kepada ibumu setiap kali teman – teman sepermainanmu itu mengejek dan mengolok – olok namamu itu.” Hatiku berbisik.
“ Ah, kau hati, kenapa kau tiba – tiba saja berbisik seperti itu? Kau mengingatkanku saja dengan almarhumah ibuku, Tulkiyem, yang selalu saja bisa meredakan tangis marahku dengan pelukan kasih sayangnya yang kurasakan begitu tulus dari dalam hati beliau. Ah, kasih ibu memang kasih yang tulus dan ikhlas, mungkin karena itulah muncul sebuah pameo Surga ada di bawah telapak kaki ibu.”
“ Wis tho le! Awakmu ojo nangis terus, lha kudu piye maneh, pancene jenengmu yo segawon iku, le. Opo tho artine jeneng iku,le, jeneng iku ora penting, sing penting iku lak atimu resik lan kelakuanmu apik, sopan santun, ngerti unggah ungguh karo sing luwih tuwo soko awakmu. Awakmu lak yo pinter tho, le, oleh ranking siji terus ndek kelas, dadi enggone awakmu sekolah iku ora tau mbayar yo amargo prestasimu kuwi. Simbok bangga kok, le, karo awakmu. Wis tho, le, ojo nangis terus awakmu iku, simbok banjur kepingin nangis pisan yen ngono.”4
“ Tapi, mbok, moso jeneng kulo mboten saget diganti tho?”5
“ Jenengmu ndek akte kelahiran yo Segawon iku,le. Oalah…le, simbokmu iki wis males ngurus – ngurus ganti jenengmu ndek kantor kelurahan, jarene kudu mbayar iki lah, mbayar iku lah, ngono iku isih kudu ngurus – ngurus maneh ndek kantor kecamatan, lagek kudu mbayar iki maneh, mbayar iku maneh, awake dewe iku wong ga duwe, le, mending lak duwete kanggo mangan wae. Ah, pancene pemerintahe dewe iku, teko sing duwur sampe sing ngisor, kabeh podo moto duwiten. Kabeh – kabeh kok di gawe angel, lek enek duwet lagek di gawe gampang. Istilahe, jarene mas – mas mahasiswa iku Birokrasi berbelit – belit.”6
“ Birokrasi iku nopo tho, mbok?”7
“ Ah, emboh, le. Simbokmu iki wong SD wae ora lulus,kok awakmu takon birokrasi iku opo, yo simbokmu iki ora weruh tho, le. Mulano, le, enggone awakmu sekolah sing sregep, dadio bocah sing pinter lan bener, ojo pinter tapi malah keblinger. Simbok mong biso ndonga’ake, mugo – mugo awakmu biso dadi wong pinter lan sukses.”8
Ah, Ibu, Engkau memang segalanya bagiku. Engkau selalu saja bisa membuatku merasa tenang dengan pelukan kasih sayangmu yang begitu tulus ikhlas. Apalagi semenjak ayah meninggal pada usiaku yang baru beranjak balita, aku benar – benar merasakan cinta tulus suci seorang Ibu kepada anaknya.
Ah, engkau memang benar Ibu, apalah arti sebuah nama, nama itu tidaklah penting, yang penting hati kita bersih, perilaku kita baik dan sopan. Ah, Ibu, seandainya Engkau masih ada, hari ini Engkau pasti akan merasa sangat begitu bangga menyaksikan anakmu yang bernama Segawon ini, yang cerdas ini, sehingga selalu mendapat beasiswa ini, berdiri di atas podium kehormatan di depan para dosen – dosen serta tamu – tamu undangan wali mahasiswa, untuk sekedar memberikan sambutan sebagai mahasiswa termuda, sebagai mahasiswa yang paling singkat masa kuliahnya, sebagai mahasiswa yang paling tinggi IPKnya. Ah, Ibu, Engkau pasti menangis bahagia disana melihat anakmu yang bernama Segawon ini. Terima kasih Ibu, atas segala do’a dan cinta kasih tulusmu kepadaku.
***
“ Sambutan berikutnya, dari Mahasiswa termuda, tersingkat masa kuliahnya, serta tertinggi IPK nya, kepada Saudara Segawon S.Pd, waktu dan tempat, kepadanya kami persilahkan.”.
Kudengar MC memanggil namaku dan mempersilahkanku untuk maju ke depan naik ke atas panggung. Ah, begitu bangganya diriku, kini ada embel – embel gelar S.Pd dibelakang namaku, Segawon, S.Pd. Ah, tapi, kenapa dengan para dosen dan hadirin tamu undangan itu, kenapa mereka semua tiba – tiba tertawa terbahak – bahak?! Ah, aku tahu, mereka sedang menertawakanku rupanya. Ah, tidak, tidak, mereka tidak sedang menertawakanku, tapi lebih tepatnya mereka sedang menertawakan namaku. Ah, mereka ternyata masih saja terpaku pada konsep – konsep nama itu. Ah, baiklah, mungkin aku adalah The Right Man on The Right Time and The Right Place, Tuhan mungkin memberikan kesempatan yang tepat kepadaku untuk berbicara panjang lebar menggagas konsep – konsep nama itu di depan mereka semua. Ah, baiklah, akan aku bungkam mulut mereka semua.
“ Hadirin yang terhormat, langsung saja, saya tahu anda – anda semua menertawakan nama saya ini, saya benar – benar sedih saudara – saudara, bukan karena anda – anda semua yang menertawai saya, bukan, kalau untuk hal seperti itu saya sudah kebal semenjak saya masih kecil, tapi yang sangat saya sedih sesalkan adalah anda – anda semua ini, bagaimana bisa anda – anda yang notabenenya orang – orang berpendidikan ini, tapi rupanya anda semua masih saja terpengaruh dan terpaku pada konsep – konsep nama itu. Ah, apalah arti sebuah nama saudara – saudara, kalau kita tiada mampu berkarya, berprestasi, dan berperilaku baik. Anda semua menertawai saya, itu sama halnya anda semua menertawai diri anda semua sendiri yang begitu bodoh, dungu, dan buta karena anda semua hanya melihat seseorang dari luarnya saja, dari namanya saja, tanpa melihat siapa dirinya yang sebenarnya. Ah, betapa Negara yang katanya rakyatnya terkenal dengan saling tepo selironya ini, ternyata sama sekali tidak bisa menghargai orang lain. Ah, nama saya memang Segawon, tapi kenapa anda semua hanya melihat nama saya saja?! kenapa anda semua tidak melihat hakikat diri saya?! Kenapa saya bisa berdiri di depan anda semua?! Ah, seandainya saya kelak menjadi presiden Negara ini, apakah anda masih saja akan menertawai saya?! Tanpa melihat siapa saya yang sebenarnya?!”
“ Moso enek presiden jenenge kok segawon…”9
Terdengar dari kerumunan seorang hadirin menyeletuk, menyindir namaku, disambut gelak tawa seluruh isi aula itu. Ah, kenapa mereka masih saja belum mengerti?! Kenapa mereka masih saja menertawaiku?! Tidakkah mereka sadar karena apa saya bisa berdiri di panggung kehormatan ini, berbicara panjang lebar di depan mereka?! Tidakkah mereka tahu siapakah mahasiswa yang terrmuda itu?! Tidakkah mereka tahu siapakah mahasiswa yang tersingkat masa kuliahnya itu?! Tidakkah mereka tahu siapakah mahasiswa dengan IPK mentereng 3,99 itu?! Itu aku, aku, akulah mahasiswa itu. Tapi, ah…!!! Mereka masih saja menertawaiku.
Ah, marahku serasa makin memuncak, nada bicaraku semakin meninggi, layaknya seorang aktifis mahasiswa yang sedang berorasi di depan gedung MPR.
“ Ok…!!! Nama saya memang Segawon, saudara – saudara! Dan segawon adalah tak lebih dari seekor hewan hina, najis, dan menjijikkan. Tapi, tidakkah pernah anda semua sadari?! Tidakkah pernah anda semua tahu?! Siapakah yang dengan setia menjaga rumah anda siang dan malam?! Siapakah yang membantu pihak kepolisian dalam melacak?! Tidakkah pula pernah anda semua mendengar kisah Ashabul Kahfi10 yang masuk surga bersama seekor anjingnya?!”.
Ah, tampaknya sia – sia saja aku berbicara panjang lebar penuh semangat di depan mereka. Mereka tampak masih saja menertawaiku, tawanya malah semakin menjadi – jadi, terbahak – terbahak, terkekeh – kekeh. Semuanya tertawa, ya, semuanya, kecuali diri saya sendiri yang menutupi kedua telinga dengan kedua tanganku, tiada kuasa mendengar tawa mereka yang terdengar menggema di seluruh ruangan, hingga akhirnya tiada kuasa lagi, diri ini berteriak, menjerit keras, sekeras- kerasnya…!!!
“ Diiiaaammm…!!! Atau saya kutuk kalian semua menjadi segawon, menjadi anjiiinngng…!!!”
Semuanya tiba – tiba diam. Namun, kenapa tiba – tiba suara mereka kembali terdengar menggema?! Tapi bukan suara tawa terbahak – bahak mereka, tapi…
“ Namaku Segawon, guukk…guukk…guukk !!!”
Ah, mereka layaknya sebuah paduan suara saja mengucapkan dua kata itu lalu menggonggong kompak. Ah, tapi, aneh sekali! Kenapa wajah mereka semua berubah menjadi anjing?! Ah, mereka telah terkena kutukanku rupanya! Ah, masa bodoh dengan mereka! Biarkan anjing menggonggong, ( kafilah tetap berlalu)?, ah, bukan, bukan seperti itu paribahasanya sekarang, tapi biarkan anjing menggonggong, saya mendengarkan! Ha…ha…ha…!!!
Ah, tapi, wajahku?! Apakah wajahku juga ikut berubah menjadi anjing seperti mereka?!
Ku raba wajahku…
Ah, tidak. Wajahku masih utuh seperti sedia kala. Ah, namaku memang Segawon, tapi diriku bukanlah segawon seperti mereka.
By ; SATRIO BUDIMAN WIBOWOJATI, Cerpenis dan Penikmat Sastra. Aktif di Sanggar Penulis Lepas “ Biarkanlah Alam Mengajarimu Menulis “ Dinoyo Malang. HP. 081-575-050-569 No. REK BCA Cab. Kab. BATANG JATENG 2490114206 a / n ABDUL CHAMID.
1 Segawon dalam bahasa jawa bermakna anjing.
2 Jelek – jelek begini ya nama saya sendiri. Apa urusanmu?! Terserah orang tua saya mau ngasih nama anaknya apa?!
3 Terserah kamu mau ngomong apa! Namaku ya Segawon itu.
4 Sudahlah, Nak! Kamu jangan nangis terus, harus bagaimana lagi, memang namamu ya Segawon itu, Nak. Palah artinya sebuah nama, nama itu tidak penting, yang penting itu hatimu bersih, perilakumu baik, sopan santun, tahu tata karma dengan ornag yang lebih tua dari kamu. Kamu kan juga pinter, Nak, dapat rangking satu terus di kelas, jadi kamu sekolah ga pernah bayar itu ya karena prestasimu itu. Ibu bangga kok, nak, sama kamu. Sudahlah, Nak, kamu jangan naangis terus begitu, ibu jadi mau ikut nangis kalau begitu.
5 Tapi, Bu, masa nama saya ga bisa diganti sih?
6 Nama kamu di Akte Kelahiran ya Segawon itu, Nak. Oalah…Nak, ibumu ini sudah malas mengurusi ganti namamu di kantor kelurahan, katanya harus bayar ini lah, bayar itu lah, gitu aja masih harus mengurus lagi di kantor kecamatan, juga harus bayar ini lah, bayar itu lah, kita ini orang ga punya, Nak, mending kan uangnya buat makan saja. Ah, memang pemerintah kita itu, dari yang atas sampai yang bawah, semuanya sama – sama moto duwiten ( kalau lihat uang matanya hijau ). Semua kok dibuat susah. Kalau ada uang, baru dibuat gampang. Istilahnya, kata mas – mas mahasiswa itu, Birokrasi berbelit – belit.
7 Birokrasi itu apa sih, Bu?
8 Ah, ga tahu lah, Nak. Orang ibumu ini SD saja ga lulus, kok kamu tanya birokrasi itu apa, ya ibumu ini ga tahu lah, Nak. Makanya, Nak, kamu sekolah lah yang rajin, jadilah anak yang pinter dan benar, jangan pinter tapi malah keblinger ( ga bener ). Ibu Cuma bisa mendo’akan semoga kamu bisa jadi orang pintar dan sukses.
9 Masa ada presiden kok namanya Segawon…
10 Sebuah kisah dalam agama Islam.

Mawar Berduri

Mawar Berduri
Dia tampak begitu sibuk mengamati bermacam-macam bunga yang terhampar indah penuh warna-warni di depannya. Kedua bola matanya yang bulat indah terlihat begitu berbinar dan sumpringah di balik wajahnya yang ayu memandangi hamparan warna-warni bunga-bunga yang tumbuh dan terawat dengan baik di pekarangan belakang rumahku itu. Aku sendiri memang suka dengan keindahan warna-warni bunga-bunga itu, namun aku sebenarnya tidak terlalu hobby dengan yang namanya bunga, apalagi mengoleksi berbagai jenis tanaman bunga lalu mengurus dan merawatnya dengan baik dan teliti. Aku tidak ingin repot-repot setiap pagi dan sore menyirami bunga-bunga itu. Tapi, karena koleksi berbagai jenis bunga yang memenuhi hampir seluruh pekarangan belakang rumahku itu merupakan peninggalan almarhumah ibuku, dan sebelum meninggal beliau berwasiat kepadaku agar aku mengurus dan merawat baik-baik bunga-bunga di pekarangan belakang rumahku itu, maka mau tak mau aku pun harus merawat dan mengurus bunga-bunga itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Karena memang pada dasarnya aku ini tidak terlalu hobby repot-repot dengan yang namanya bunga, maka aku memutuskan untuk menyewa jasa Pak Narno seorang tukang kebun yang di mataku beliau benar-benar terlihat paham dan mengenal betul dengan yang namanya bunga, beliau begitu telaten mengurus dan merawat bunga-bunga warisan almarhumah ibuku itu, selain itu meskipun Pak Narno hanyalah seorang tukang kebun, tapi di mataku beliau adalah sosok lelaki dewasa yang bijak, berwibawa, dan penuh kebapakan, karena itulah beliau sudah ku anggap seperti ayahku sendiri karena setelah ayahku menceraikan ibuku dan memutuskan untuk menikah dengan wanita yang lain serta setelah kepergian almarhumah ibuku, hanya dengan Pak Narno lah aku menempati rumah warisan turun temurun peninggalan nenek moyang kami yang berukuran cukup besar itu. Pak Narno pula lah yang selama ini selalu menyemangatiku untuk selalu tabah dalam menjalani kehidupan yang serba tak tentu ini. Beliau selalu mampu membangkitkan jiwaku dengan kata-kata dan petuah-petuah bijaknya yang kurasakan begitu dalam menyentuh lubuk hatiku. Ah, beliau memang seolah sosok ayahku sendiri, bahkan lebih, karena selama ini sosok ayah di mataku adalah seorang yang workaholic, pagi buta berangkat ke kantor, malam baru pulang lalu langsung istirahat, begitu saja terus berjalan setiap hari sehingga dia seolah lupa dengan keluarganya sendiri, istrinya dan putra satu-satunya ini. Memang, secara materi, kami merasa sangat berkecukupan bahkan lebih berkat hasil kerja kerasnya itu. Tapi dia pikir hanya dengan uang berlimpah saja kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga bisa di dapat. Sama sekali tidak. Dan, kredibilitas sosok ayah di mataku semakin jelek ketika lama-lama ayah sering telat pulang ke rumah, bahkan tidak jarang pula ayah tidak pulang ke rumah sama sekali dengan alasan lembur meskipun ketika ibu mencoba mengecek dengan menelepon ayah ke kantor, ternyata ayah tidak sedang lembur sama sekali. Ibu pun menaruh kecurigaan semenjak saat itu sampai akhirnya suatu ketika Ibu memergoki ayah sedang berduaan dengan wanita lain di sebuah restoran ternama di ibu kota. Sejak itu pula Ibu meminta cerai dengan ayah meskipun sebenarnya ayah sudah berulangkali meminta maaf kepada Ibu dan berjanji tidak akan menyeleweng lagi, namun keputusan Ibu sudah bulat, Ibu menginginkan perceraian. Akhirnya Ibu dan ayah pun cerai. Aku memilih untuk ikut dengan ibu dari pada dengan ayah, karena selain akhirnya ayah menikah lagi dengan WILnya itu, tapi juga karena memang selama ini aku merasa lebih dekat dengan Ibu dari pada dengan ayah.
Sebetulnya aku sama sekali tidak membenci ayah, karena secara materi ayah telah benar-benar menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala rumah tangga untuk menafkahi dan mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Justru dengan WILnya itulah aku menaruh kebencian yang mendalam. Dasar wanita kegatelan! Sudah tahu orang sudah punya istri dan anak, masih saja di rayu, ah, paling-paling dia juga mau mengincar uang ayahku saja. Dasar wanita mata duitan!
Dan, entah kenapa pula setelah perceraian itu, aku seolah merasa paranoid dengan yang namanya wanita. Bahkan aku seolah merasakan kebencian mendalam kepada yang namanya wanita meskipun sebenarnya aku pun sendiri sadar bahwa tidak semua wanita itu sama karena Ibuku sendiri juga adalah seorang wanita. Mungkin saja kebencianku akan wanita ini karena didasari kebencianku dengan wanita yang telah merebut ayahku dari sisi Ibuku. Ah, wanita itu memang lebih segar, lebih semok, dan lebih cantik serta lebih muda dari pada Ibuku, pantas saja ayah terpikat dengannya. Ah, dasar wanita cantik kegatelan dan mata duitan! Wanita memang layaknya sebuah bunga mawar yang begitu indah yang membuat kita serasa ingin memetiknya, namun dibalik keindahannya, durinya yang menusuk tajam bisa menggoreskan luka berdarah pada tangan kita.
Kedua bola matanya yang sedari tadi mengamati hamparan warna-warni bunga-bunga yang ada di pekarangan belakang rumahku itu, kini berbalik menoleh ke arahku.
“Mas Budi pasti hobby banget menanam bunga, dan tentu sangat paham betul bagaimana cara merawat dan mengurus bunga-bunga ini dengan baik.” Kata gadis itu diringi senyumnya yang manis dan mempesona.
Ah, lelaki mana yang tidak terpikat jika seorang gadis jelita yang berwajah ayu dan bertubuh putih mulus nan ramping melemparkan senyum terindahnya kepada kita.
“Kok kamu bisa bilang begitu?”
“Lho, bunga-bunga di pekarangan ini kan begitu terurus dan terawat dengan baik, gak ada satu pun bunga-bunga disini yang tampak layu, pokoknya bunga-bunga itu tampak segar dan indah kaya aku gitu deh, soalnya aku pandai merawat dan mengurus diri, he..he..he..ya gak Mas? Nah, kalau bunga-bunga itu pasti Mas Budi yang mengurus dan merawat mereka, makanya terlihat segar dan indah semua, ya kan?” Jawabnya kembali diringi senyumnya yang indah dan terkesan manja menggoda.
Ah, kau memang segar dan indah sama halnya dengan bunga-bunga itu. Tapi lebih tepatnya kau bagaikan setangkai mawar merah nan indah di pagi hari yang baru mekar, karena namamu sendiri memanglah Mawar dan usiamu sendiri yang memang masih muda belia meskipun cara pandang dan cara pikirmu jauh lebih dewasa daripada usiamu itu. Ya, kebetulan nama gadis itu adalah Mawar Ayu Sekarningrum dan orang-orang memanggilnya Mawar. Ah, gadis itu memang seindah dan seayu namanya. Dan aku pun tidak bisa membohongi hatiku sendiri kalau aku sebenarnya memang telah jatuh hati dengan pesona kecantikan gadis itu.
“Kamu salah, Mawar, aku sama sekali tidak hobby menanam bunga-bunga dan bukan aku yang mengurus dan merawat bunga-bunga itu.”
“Lho, terus kok bisa ada banyak bunga-bunga di pekarangan rumah Mas Budi?”
“Itu warisan peninggalan almarhumah Ibuku, dan sebelum meninggal beliau memintaku untuk selalu merawat dan mengurus bunga-bunga itu dengan baik.”
“Lalu, kalau begitu siapa dong yang mengurus dan merawat bunga-bunga itu?”
“Karena pemahamanku seputar bunga sangatlah minim, aku menyewa seorang tukang kebun untuk merawat dan mengurus bunga-bunga itu dan itu semua kulakukan tak lain dan tak bukan demi almarhumah ibuku, bukan karena aku ini hobby menanam dan merawat bunga seperti dugaanmu itu.”
“Ooo…begitu. Eh, ngomong-ngomong di antara bunga-bunga itu bunga apa yang paling Mas Budi suka.” Tanya dia sembari menunjuk ke arah hamparan bunga-bunga itu.
“Menurutku semua bunga-bunga itu sama-sama bagus dan indahnya.” Jawabku ringan dan datar.
“Mas Budi kok jawabnya gitu sih, tadi kan Mawar tanya yang paling disukai Mas Budi itu bunga apa, gitu? kok malah disukai semua, gimana sih?” Protesnya kepadaku. Ah, wajahnya yang berubah cemberut menunjukkan ketidakpuasannya atas jawabanku itu. Ah, cemberut atau tidak, kau sama saja, tetap cantik.
Ah, namanya juga wanita. Dimana-mana yang namanya wanita selalu saja bersikap manja dan kekanak-kanakan ketika dia sedang berdua dengan seorang lelaki. Aku cuma tersenyum kecil melihat rona mukanya yang berubah cemberut.
“Lho, kok Mawar jadi berubah cemberut dan sewot gitu sih? Coba kamu lihat bunga mawar itu, bunga mawar itu aja dari dulu gak pernah cemberut dan sewot sama aku.”
“Habisnya Mas Budi sih, ditanya bener-bener kok jawabnya seenaknya sendiri. Ayo sekarang jawab yang bener!” pintanya manja dan terkesan kekanak-kanakan.
“ehmmm…bunga apa ya? Aha, bunga mawar! Ya, bunga mawar menurutku bunga yang paling indah diantara hamparan bunga-bunga di pekarangan ini. Coba kamu lihat lagi bunga mawar itu, terlihat paling indah kan?”
“Bener nih? Mas Budi gak bohong ‘kan?”
“Lho, ngapain aku bohong sama Mawar? Mawar itu gak pantas untuk di bohongi, sama halnya dengan bunga mawar itu gak boleh di biarkan terlantar begitu saja, tapi harus dirawat dan diurus agar keindahannya tetap terjaga, begitu.”
Ah, sebenarnya aku berbohong saja. Aku bahkan sebenarnya paling benci dengan bunga mawar karena berulang kali aku tertusuk durinya ketika hendak memetiknya waktu aku dulu sedang iseng-iseng membantu Ibuku menyiram bunga-bunga di pekarangan rumah kami itu, begitu pula ketika aku juga sedang membantu Pak Narno merawat dan menyirami bunga-bunga itu, lagi-lagi tanganku tertusuk duri mawar ketika aku hendak memetiknya. Tapi, bukan karena itu saja aku membenci bunga mawar yang memanglah sangat indah dan mempesona mata itu, melainkan juga karena wanita cantik yang telah merebut ayah dari sisi Ibuku itu juga bernama depan Mawar, Mawar Kusumaningrum, dan entah hanya karena kebetulan saja atau tidak, Pak Narno, tukang kebun yang sudah aku anggap seperti ayahku sendiri itu, juga pernah dikhianati oleh seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah mantan istrinya sendiri yang lagi-lagi bernama depan Mawar, Mawar Wulaningrum. Tapi, aku berbohong karena terpaksa, hanya semata tidak ingin melihat wajah ayu Mawar yang satu ini ternodai oleh cemberutnya, meskipun di mataku wajahnya tetap saja terlihat ayu mempesona dibalik cemberutnya itu.
“Berarti kita sehati dong, Mas. Mawar juga paling suka sekali sama bunga mawar.”
“Ah, itu kan karena kebetulan aja nama kamu juga Mawar, makanya kamu pura-pura suka bunga mawar itu, ya kan?” ujarku sedikit menggoda.
“iihh, Mas Budi gak percaya banget sih sama Mawar, memangnya muka Mawar menunjukkan muka pembohong apa? Mawar suka bunga mawar karena menurutku bunga mawar itu memang begitu indah dan begitu mempesona setiap mata yang memandangnya sehingga membuat kita ingin sekali memetiknya, tapi hati-hati lho Mas, kalau ingin memetik bunga mawar, bisa bisa tangan kita berdarah karena tertusuk durinya.”
Kau memang betul Mawar. Bunga mawar memanglah bunga yang indah dan mempesona setiap mata yang memandangnya, namun dibalik keindahannya itu terdapat duri-duri tajam menusuk yang bisa membuat tangan kita luka berdarah ketika hendak memetiknya. Dan kau Mawar, kau memang seindah dan semempesona namamu. Kau benar-benar telah mempesona mata hatiku. Kau telah membuatku ingin memetikmu dan memilikimu. Tapi aku berharap kau tiadalah seperti mawar-mawar berduri itu, mawar-mawar yang bisa menancapkan duri luka di balik keindahannya. Aku berharap kau hanyalah sebuah Mawar indah saja yang tiada berduri sama sekali.
“Nak, Nak Budi…”
“Eh, Pak Narno.” Aku yang sedari tadi tampak termenung menatap kosong ke arah hamparan warna-warni bunga di pekarangan itu menjadi sedikit tergeregap, tersadar dari lamunan panjangku ketika tiba-tiba saja Pak Narno menepuk pundakku dari arah belakang.
Ah, aku benar-benar hanyut dalam lamunan panjang akan masa laluku yang membuatku begitu trauma dengan mawar-mawar itu, mawar-mawar berduri itu. Mawar Ayu Sekarningrum ternyata sama halnya dan sama berdurinya dengan Mawar Kusumaningrum yang telah merebut ayah dari sisi ibuku, serta Mawar Wulaningrum yang telah mengkhianati Pak Narno. Mawar Ayu Sekarningrum, gadis cantik jelita yang akhirnya berhasil aku persunting sebagai istriku kini menghilang entah kemana. Mawar Ayu Sekarningrum, seorang istri yang begitu aku cintai dan percayai, ternyata telah mengkhianatiku pergi begitu saja dengan menggondol seluruh uang hasil kerja kerasku selama ini serta uang hasil gono gini ayah dan ibu yang telah diwariskan kepadaku. Ah, semua mawar memang sama, sama-sama penuh duri melukai.
“Nak Budi dari tadi terlihat melamun memandang bunga-bunga itu, sebenarnya apa yang sedang Nak Budi pikirkan?”
“Ah, gak ada apa-apa kok, Pak. Saya cuma sedang memikirkan bagaimana seandainya kalau bunga-bunga mawar itu kita tiadakan saja, kita cabuti lalu kita buang jauh-jauh dari pekarangan ini, atau kita bakar saja sekalian.”
“Maksud Nak Budi?”
“Saya benar-benar benci dan trauma dengan mawar-mawar itu, Pak. Saya tidak ingin melihat ada bunga-bunga mawar itu lagi di pekarangan ini.”
Pak Narno tampak mengangguk-anggukkan kepala mengiyakan saja seolah paham dan mengerti betul arti ucapanku tadi.

Bulan Dadari

Bulan dadari
Malam ini langit di atas sana menampakkan keelokannya. Dewi malam keluar dari balik kabut malam dengan memancarkan cahayanya yang terang benderang serta dalam bentuknya yang begitu bundar sempurna. Bintang-bintang pun seolah tak mau ketinggalan saling bertebaran dan berlomba-lomba memancarkan sinarnya semakin menambah indahnya pemandangan elok langit malam itu.
“Indah sekali langit malam ini. Bulan menampakkan bentuknya yang begitu sempurna. Kelap-kelip bintang menemani pancaran sinar bulan purnama yang begitu terang benderang. Ah, betapa maha agung dan sempurnanya maha karya ciptaan Tuhan ini.” Gumamku dalam hati.
Aku kembali tertegun, bukan karena memandangi eloknya pemandangan di angkasa raya malam itu, tapi karena ada sesuatu yang seolah sedang berkecamuk di pikiranku.
“Bulan purnama itu memang sungguh indah. Begitu bundar dan begitu terang cahayanya. Hmm, bulan dadari.” Gumamku kembali dalam hati.
“Ah, bulan dadari itu memang sangatlah mempesona mata yang memandangnya, dan cahayanya mampu menerangi alam raya di balik gelapnya malam. Aku memang terpesona dengan keindahanmu itu, namun sayang, terang cahayamu tiada mampu menyinari hatiku yang sedang gelap.”
Termenung aku kembali, larut dalam keheningan malam dan hatiku. Alam raya seisinya seolah terdengar pekik keriangannya menyambut datangnya bulan dadari itu. Namun, ‘diriku’ yang terdalam seolah memaksaku untuk tidak bisa menikmati eloknya bulan dadari malam itu sepenuhnya. Ada sesuatu yang belum muncul di balik bulan dadari malam itu yang membuat pancaran cahayanya tiada mampu menembus ke dalam hatiku, menerangi hatiku yang sedang gelap gulita.
Ada ‘bulan dadari’ lain yang pancaran pesonanya lebih mampu menerangi kegelapan langit di hatiku. ‘bulan dadari’ itu tak lain dan tak bukan adalah seorang gadis yang selama ini begitu aku cintai dan sayangi. Seorang gadis yang selama ini namanya begitu melekat dan terukir dalam hatiku. ‘Wulandari’ nama gadis itu. Namun, selama itu pula, setelah aku memberanikan diri untuk mencurahkan segala perasaan cintaku kepadanya, entah kenapa dia tiba-tiba saja dia seolah menghilang pergi begitu saja meninggalkanku.
“Wulan, ada sesuatu yang ingin aku utarakan kepadamu.”
“Tentang apa?”
“Ehm, aku merasa nyaman di dekatmu. Aku merasa sangat cocok denganmu selama ini. Kamu merasakan hal yang sama gak?”
“Iya, aku juga merasakan hal yang sama sepertimu. Aku merasa nyaman bersamamu karena aku pikir kita memang cocok satu sama lain. Pokoknya kita itu selalu nyambung terus kalau lagi ngobrol apa saja. Kamu juga sangat mengerti dan memahami sekali diriku. Kamu selalu sudi untuk sekedar mendengarkan keluh kesah dan curhatku. Dan kamu pun tidak hanya sekedar menjadi pendengar setia saja, tapi juga sering memberi masukan dan nasehat berharga kepadaku. Pokoknya kamu itu memang tempat bersandarku.” Jawabnya diiringi senyum manjanya yang manis yang kurasakan semakin membuatku melayang mabuk kepayang dan semakin meyakinkan hatiku bahwa dia pun juga benar-benar merasakan hal yang sama kepadaku.
“Ehmm…anu…ehmm…a…a…aku…” aku terbata-bata seolah ada sesuatu yang menyumbat dan menahan lidahku untuk bersuara.
“Kamu kenapa?” tanyanya melihat keanehan dan keterbataanku.
“Aku ada sesuatu yang ingin aku utarakan ke kamu.”
“Tadi kan kamu sudah mengutarakannya.”
“Bukan yang itu.”
“Lalu, kamu ingin mengutarakan apa sebenarnya?”
“Aku…aku cinta kamu, sungguh aku cinta kamu.” Tiga kata itu serasa terucap begitu saja dari bibirku.
Namun, aku justru menjadi bingung ketika kutangkap perubahan tiba-tiba pada raut mukanya. Raut mukanya yang sebelumnya memancarkan keriangan disertai senyumnya yang manja dan manis tiba-tiba kurasakan dan kulihat berubah menjadi raut muka cemberut dan tiada lagi senyum manja dan manis tersungging dari bibirnya yang memerah delima indah. Hatiku yang sebelumnya yakin bahwa dia pun merasakan hal yang sama sepertiku, tiba-tiba terbersit keraguan di dalam.
“Wulan, kamu kenapa? Kok raut wajahmu tiba-tiba berubah masam begitu? Apa aku salah ngomong?”
“Enggak kok, kamu gak salah ngomong.”
“Lalu, kenapa? Aku betul-betul mencintaimu wulan, aku sangat mencintaimu. Maukah kamu menerima cintaku?”
Aku bersimpuh di depannya, aku genggam erat-erat jari jemarinya yang lentik indah, aku tatap tajam-tajam bulat bola matanya yang mempesona. Aku benar-benar menanti kata ‘iya’ terucap dari bibirnya, terucap tulus dari lubuk hatinya yang terdalam. Cukup lama aku menunggu, namun tiada sepatah kata pun terucap dari bibirnya.
“Wulan, maukah kamu menerima cintaku?” aku ucapkan kembali kata-kata itu.
Namun, kembali tiada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya yang kurasakan tiba-tiba tampak bergetar. Matanya kutangkap terlihat berkaca-kaca. Aku semakin bingung dengan dirinya. Kenapa tiba-tiba dia justru menangis.
“Wulan, kamu kenapa? Kok malah menangis? Apakah aku telah menyakiti hatimu?”
Dia hanya geleng-geleng kepala saja. Aku semakin bingung, apa sebenarnya yang membuatnya menangis.
“Lalu, kenapa kamu menangis? Apakah aku salah bilang cinta sama kamu?”
Lagi-lagi, dia hanya geleng-geleng kepala saja. Namun, kurasakan kini dia mulai melepaskan jari jemarinya dari genggaman tanganku. Ku tangkap bibirnya seolah hendak mengatakan sesuatu.
“Maafkan aku.”
Begitu saja. Ya, begitu saja dia mengucapakan kedua kata itu, lalu sambil menahan isak tangisnya yang sedikit tertahan berlari pergi berlalu meninggalkanku yang masih tetap pada posisi bersimpuh. Kurasakan diriku seolah sama sekali tiada kuasa untuk mencoba menghentikannya, mencoba mencegahnya pergi, bahkan untuk sekedar menoleh menyaksikan kepergiaanya pun aku sama sekali tak kuasa. Aku seolah pasrah begitu saja menerima semuanya.
Aku merubah posisiku, duduk tertegun dan termenung menyandarkan kedua tangan di atas lututku, menatap kosong ke arah kemana wulandari pergi berlalu meninggalkanku sendirian disini.
“Maafkan aku. Itu saja yang terucap dari bibirmu untukku. Apa sebenarnya maksud ucapanmu itu wahai Wulandariku sayang?” tanyaku dalam hati.
Adakah kau mengucapkan itu sebagai pertanda kau tidak bisa menerima ketulusan cintaku? Ataukah kau belum mampu menerima diriku sebagai belahan jiwamu? Sudah adakah cinta yang lain yang lebih dulu bersemayam di hatimu? Lalu, kau artikan apa sebenarnya keakraban dan kesaling cocokkan kita selama ini? Sebatas persahabatan saja kah? Kau artikan apa sebenarnya segala kebaikan, pemberian, dan kasih sayang dariku kepadamu selama ini? Sebatas kebaikan, pemberian, dan kasih sayang dari seorang sahabat saja kah? Kau artikan apa sebenarnya bentuk kepengertian dan kepedulianku terhadapmu selama ini? Sebatas pengertian dan peduli dari seorang sahabat saja kah? Ah, mungkin saja iya. Dia hanya menganggapku sebagai seorang sahabat saja, tak lebih. Sementara aku, aku terlalu hanyut dalam romantika keakraban kami sehingga menumbuhkan benih-benih cinta di hatiku kepadanya, sehinga aku terlalu menuntutnya untuk menjadi lebih dari sekedar seorang sahabat bagiku. Tapi, bukannya aku sudah mulai tertarik dengan dirinya semenjak pertama kali kami berjumpa? Lalu, kenapa jauh di lubuk hatiku yang terdalam aku benar-benar yakin bahwa dia juga mencintaiku? Oh, Apa sebenarnya yang ada dalam hatimu wahai Wulandariku? Ah, seandainya kau tidak pergi begitu saja, seandainya kau sudi untuk menjelaskan semuanya. Ah, kau memang seorang gadis yang sulit ditebak jalan pikiran dan kemauanmu.
“Ah, ternyata ada benarnya juga segala perkataan almarhumah nenekku.” Gumamku dalam hati.
Ah, aku jadi teringat akan almarhumah nenekku. Almarhumah nenekku adalah seorang kejawen sejati. Beliau sangat getol sekali mendalami, memegang teguh dan mempercayai apa saja yang berbau kejawen. Dan, satu hal yang membuatku kagum kepada beliau adalah daya mata bathin atau indra keenam yang beliau miliki. Awal mulanya aku menganggap semua itu hanyalah suatu kebetulan belaka, namun beliau selalu saja bisa mengetahui watak dan pribadi seseorang hanya dari melihat raut muka orang itu saja dan bahkan hanya dengan melihat foto orang itu saja. Karena itulah, suatu ketika aku pun sekedar iseng mengenalkan Wulandari kepada nenekku lewat sebuah foto.
“Nenek, cucu boleh minta tolong gak?”
“Ya boleh dong, masa cucu sendiri minta tolong kok gak boleh. Cucu mau minta tolong apa sama nenek?”
“Begini nek, cucu sekarang lagi deket sama seorang gadis, dan cucu sangat cinta banget sama gadis itu. Cucu minta diramalin hubungan kami berdua, nek. Oiya, ini foto gadis itu, nek. Namanya Wulandari, nek. Dia cantik kan, Nek?” Jelasku sembari memberikan selembar foto kepada nenek.
Nenek tampak mengamati tajam-tajam wajah yang ada dalam foto itu. lalu, beliau terdengar menarik nafas dalam-dalam, sebelum akhirnya beliau berkata.
“Iya, dia memang gadis yang cantik, cucuku. Tapi, apakah cucu sudah benar-benar yakin mencintai gadis yang bernama Wulandari ini?”
“Sangat yakin sekali, nek.” Jawabku mantap.
“Cucu, dalam ajaran kitab jawa kuno, disebutkan bahwa ciri, watak dan karakter wanita itu bermacam-macam. Salah satunya adalah wanita yang berwatak bulan dadari. Nama gadis ini betul wulandari kan?”
“Betul, nek. Memangnya kenapa, nek?”
“Namanya sesuai dengan ciri, watak, dan karakternya. Wulandari itu berasal dari bahasa jawa bulan dadari. Jadi, gadis yang kamu cintai ini berwatak bulan dadari. Secara fisik dia punya wajah yang bulat, bola matanya juga bulat indah sehingga selalu mempesona setiap lelaki yang memandangnya karena disitulah letak auranya. Secara watak, dia seorang yang selalu berkemauan dan bekerja keras dalam menggapai apa yang dia inginkan dan cita-citakan. Karena itulah dia condong menginginkan segalanya dalam bentuk sempurna, dia tidak bisa menerima orang terdekatnya secara apa adanya. Dia juga condong egois, dan kurang peka terhadap perasaan orang terdekatnya. Dan satu lagi, dia sulit untuk ditebak jalan pikiran dan kemauannya.”
“Lalu, hubunganku dengan dia gimana, nek?”
Nenek tampak terdiam saja sambil menatap tajam ke arahku. Sorot matanya seolah memancarkan rasa kekhawatiran seorang nenek kepada cucunya.
“Nenek kok diam saja, nenek kan belum menjawab pertanyaan terakhirku?”
“Cucu, nenek sebelumnya minta maaf. Nenek tidak bermaksud melarang cucu berhubungan dengannya, tapi hati nenek bilang kalau cucu gak cocok dengan gadis itu.”
“Tapi selama ini kami merasa cocok kok, nek.” Aku mencoba membantah.
“Iya, kalian cocok hanya untuk sementara saja, namun pada akhirnya kalian akan pergi melangkah ke arah jalan pikiran kalian masing-masing. Dan, setelah itu kamu akan merasa sebagai pihak yang tersakiti karena kamu merasa dia sama sekali tidak mempedulikanmu sementara kamu masih saja terus mencintainya.”
“Ah, nenek kok meramal cucu yang jelek-jelek sih, tahu begini cucu gak usah minta diramal ama nenek.” Kataku sambil berlalu meninggalkan nenek.
Ingatanku sejenak melayang ke masa laluku malam itu. Ah, segalanya memang bermula dari bulan dadari yang bersinar terang dan indah malam itu dan langit di hatiku yang justru terasa sedang gelap saat itu.
Dari arah dalam jendela kamarku, kulihat malam semakin beranjak larut. Kedua mata ini juga kurasakan sudah tidak bisa di ajak kompromi lagi. Aku pun segera beranjak menutup jendela kamarku. Sejenak, sekali lagi ku tatap tajam dan lekat bulan dadari itu. Sekilas dia tampak tersenyum indah, namun bukan untukku, entah kepada siapa, tapi yang jelas dia tersenyum bukan untukku.
Ku tutup jendela kamarku rapat-rapat. Aku ambil selimut. Lalu, aku rebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Selamat tidur, selamat malam, dan selamat tinggal bulan dadari.
.

Di Dalam Lubang Jeruji

Di Dalam Lubang Jeruji
Pemuda itu terlihat tenang sekali membaca sebuah buku sambil duduk di pojok ruangan jeruji itu. Raut lembut dan kalem wajahnyalah yang menunjukkan seperti itu. Tidak hanya itu, penampilan fisiknya pun memang terlihat lembut dan kalem, seolah tiada pantas sama sekali pemuda itu berada dalam ruangan jeruji itu, bergabung bersama dengan para tahanan lain yang bersifat sebaliknya, petakilan, beringas dan kejam seperti halnya para bajingan pada umumnya.
“gua dengar bajingan tengik Cokro itu sudah mati di tangan seorang pemuda ingusan ketika sedang merampok rumah keluarga pemuda itu.” Celetuk salah seorang lelaki bertubuh kekar – yang biasa dipanggil dengan Bang Somat – diantara mereka yang ada di dalam ruangan jeruji itu. Sekilas, siapa saja pasti akan gentar melihat tampangnya yang seram, ditambah lagi dengan berewoknya yang lebat, rambutnya yang gondrong acak-acakan serta seluruh tubuhnya yang dipenuhi dengan tato-tato bergambar seram semakin menambah aura bengis menakutkan pada diri lelaki itu. Pantas saja dialah yang dianggap sebagai ketua di dalam ruangan jeruji itu. Pantas saja semua yang ada di dalam ruangan jeruji itu menaruh hormat kepadanya. Ah, bukan, bukan. Mereka bukan menaruh hormat, tapi takut kena bogem mentah melayang dari kedua tangannya yang kekar itu. Seperti yang pernah dialami oleh seorang tahanan baru yang menolak jatah makanannya diminta olehnya.
“loe pilih yang kiri atau yang kanan?! Pilih yang kiri sama saja dengan loe masuk rumah sakit, kalau loe pilih yang kanan sama saja loe memilih masuk liang lahat, tollloooollll…!!!” gertaknya kasar sembari menunjukkan kepalan tangan kanan dan kirinya yang kekar ketika seorang tahanan baru yang enggan memberikan jatah makanannya kepada dia.
“ampun, Bang. Sungguh, saya tidak bermaksud lancang dengan Abang. Saya tidak berani macam-macam dengan Abang. Tapi, kasihanilah saya Bang. Saya seharian belum makan, Bang. Tadi pagi, jatah sarapan saya diminta sama Bang Jaka, lalu jatah makan siang saya juga diminta sama Bang Midun, masa Abang juga mau minta jatah makan malam saya. Kasihanilah saya lah, Bang! Seharian saya belum makan, Bang!”
“ah, bodo amat, itu urusan loe, emang gua pikirin. Mana sini jatah makanan kamu!”
“ta….ta…tapi Bang, jatah makanan Abang ‘kan dua kali lipat dibanding kami yang lain, masa be…be…belum cukup sih Bang?”
“ah! Banyak protes segala loe, nih makan tuch bogem gua ….!!”
Bbuuuugggg!! Bogem mentah pun melayang dari tangan kirinya. Tak ayal, seorang tahanan yang terkena bogem mentahnya itu pun terkapar pingsan di lantai dengan hidung bersimbah darah. Seperti ucapannya, seorang tahanan itu pun langsung di larikan ke rumah sakit. Entah kekuatan apa yang ada dalam kedua tangannya itu hingga sekali pukul tangan kiri, sang lawan pasti akan roboh pingsan tiada berdaya dan langsung dilarikan ke rumah sakit dan sekali pukul tangan kanan, sang lawan pasti langsung roboh terkapar tiada berdaya, nyawa pun melayang.
“jangan coba macam-macam kau dengan Bang Somat itu. Kedua tangannya itu ampuh benar tahu! Sekali pukul tangan kiri, alamat masuk rumah sakit lah kau. Sekali pukul tangan kanan, alamat mati konyol lah kau.” Ujar Si Bonar, orang medan punya yang sudah kurang lebih sepuluh tahun mendekap di ruangan jeruji itu.
“ah, masa sih, Bang? Masa kedua tangan Bang Somat seampuh itu. Emangnya kedua tangan Bang Somat itu ada apanya?” Tanya seorang tahanan yang lain tidak percaya.
“ah, masa kau tidak percaya sama aku ini. Ah, pokoknya kedua tangan Bang Somat itu ada kekuatan supranatural-nya. Denger-denger sih Bang Somat memperoleh kekuatan itu di lereng Gunung Kawi setelah dia bertapa kurang lebih satu bulan tanpa makan dan tanpa minum. Ya, kalau kau tidak percaya sama omongan aku ini, kau boleh lah mencobanya sendiri. Atau apa perlu aku bilangin ke Bang Somat?”
“jjj….jjj….jjjaaangaaannn, Bang. Aku percaya kok. A..aku sungguh percaya dengan omongan Bang Bonar itu.” Si Bonar tertawa penuh kemenangan melihat lawan bicaranya tampak ketakutan.
Sementara itu, masih berada di dalam ruangan jeruji itu, tampak seorang lelaki bertubuh kekar yang lain, pun dengan penuh tato bergambar seram di sekujur tubuhnya. Bahkan, kepalanya yang gundul plontos juga dia tato dengan lambang seekor naga api yang tak kalah menyeramkan. Para tahanan sering memanggilnya dengan sebutan Bang Cuplis. Ah, lucu memang. Tapi, dia sendiri memang lebih senang dipanggil dengan sebutan itu, dan jangan coba-coba kau memanggil dirinya dengan sebutan selain Bang Cuplis atau kau juga akan menerima bogem mentah juga darinya.
Dan kini, Bang Cuplis itu tampak terperanjat mendengar keterangan dari Bang Somat bahwa si bajingan tengik Cokro itu sudah mati.
“ah, kau jangan ngarang lah Somat. Jangan mengada-ada kau. Mana mungkin Cokro mati di tangan pemuda ingusan. Kalau si Cokro itu mati di tangan seorang bajingan yang lebih sakti dari dia, baru aku percaya.”
“ah, cuplis, cuplis. Buat apa gua mengarang yang ‘nggak-‘nggak. Gua sendiri tadinya juga tidak percaya, tapi mau gimana lagi, ya memang begitulah adanya.”
Ah, siapa sebenarnya si Cokro itu sampai-sampai berita tentang kematiannya menggemparkan para bajingan yang sedang meringkuk di lubang jeruji.
Cokro Sumantoro, dialah bajingan dari para bajingan, dialah gembong dari segala bajingan, dialah rajanya bajingan yang begitu ditakuti karena kesaktiannya. Ya, Cokro Sumantoro memang terkenal kebal peluru, tak mempan segala senjata tajam, bahkan sebilah samurai yang tajamnya minta ampun sekalipun tidak akan bisa menorehkan goresan luka secuilpun di tubuhnya. Tak heran jika para bajingan itu bertekuk lutut semuanya dibawah perintah Cokro. Tak terkeculai Bang Somat dan Bang Cuplis yang begitu ditakuti di ruangan jeruji itu.
Namun, siapa sangka jika akhirnya Cokro Sumantoro, sang raja bajingan itu, harus mati di tangan seorang pemuda ingusan yang sebenarnya tak lebih dari sekedar seorang pemuda biasa saja pada umumnya, yang tak juga mempunyai kelebihan atau kesaktian apapun seperti yang dimiliki oleh Cokro Sumantoro sendiri. Yang pemuda itu punyai hanyalah suatu keyakinan, keyakinan yang sungguh-sungguh bahwa seampuh apapun kekuatan manusia, tiadalah bandingannya sama sekali dengan kekuatan Tuhan Yang Maha Kuat. Dan, pemuda itu juga yakin seyakin-yakinnya bahwa selemah apapun kebenaran dan sekuat apapun kejahatan, tetaplah kebenaran yang akan menang. Karena kebenaran datangnya dari Tuhan. Dan Tuhan adalah Dzat Yang Maha Kuat yang kekuatanNya tiadalah ada bandinganNya.
Dan, pemuda itu, pemuda yang telah membunuh Cokro Sumantoro rajanya bajingan itu, tak lain dan tak bukan adalah seorang pemuda yang sedang meringkuk di ruangan jeruji bersama mereka itu, yang sedang terlihat dengan tenangnya membaca sebuah buku sambil duduk di pojok ruangan jeruji itu.
Ya, pemuda itulah yang telah membunuh Cokro Sumantoro yang begitu ditakuti oleh para bajingan itu, namun tidak bagi pemuda itu. Dan, karena telah membunuh Cokro Sumantoro itulah akhirnya pemuda itu harus meringkuk di penjara. Meskipun Cokro Sumantoro adalah rajanya bajingan, namun bagaimanapun juga membunuh tetaplah merupakan suatu tindak kriminal.
Peristiwa itu, peristiwa pembunuhan Cokro Sumantoro itu terjadi kurang lebih beberapa hari yang lalu ketika si Pemuda hendak pulang ke rumahnya di pagi buta sehabis lembur kerja di kantor. Dan, sesampainya ia di rumah, betapa terkejutnya pemuda itu, ketika dirinya melihat Pak Surip dan Pak Narto, dua orang satpam yang bertugas menjaga keamanan rumahnya, serta dua ekor anjing penjaga rumahnya tampak pulas di tempat. Dan, betapa terkejutnya lagi pemuda itu ketika mendapati rumahnya sedang diobok-obok oleh sekawanan perampok bertopeng, sementara seluruh keluarganya tak ada satupun yang terjaga ataupun terbangun mendengar derat-derit sekawanan perampok yang sedang beraksi itu, semuanya tampaknya tertidur dengan lelapnya. Ah, barangkali inilah yang dinamakan dengan ilmu sirep itu. Ya, ilmu inilah yang selalu digunakan oleh sekawanan pencuri, perampok, ataupun garong untuk menyatroni rumah target mereka agar para penghuni rumah tiba-tiba lelap pulas tak sadarkan diri. Seperti halnya yang sedang terjadi di rumah pemuda itu sekarang.
“Heiiii….bajingan tengik!!! sedang apa kalian di rumahku?!!!” teriak pemuda itu seketika mengejutkan sekawanan perampok itu.
Semua wajah yang tertutup topeng itu terperanjat, betapa mereka sama sekali tiada menyadari dan mengetahui kedatangan tiba-tiba pemuda itu. Dan, betapa geramnya mereka mendengar seorang pemuda berpenampilan fisik lembut dan kalem bahkan terkesan kerempeng itu memaki mereka dengan sebutan bajingan. Meskipun mereka sendiri menyadari bahwa mereka memanglah bajingan, namun ini soal harga diri jika bajingan kelas kakap macam mereka dihardik oleh pemuda ingusan macam pemuda yang sedang ada di hadapan mereka itu.
Sesaat, salah satu dari klompotan perampok itu, dengan tatapan mata mendelik membelalak kaget dan geram, terlihat hendak menembakkan pistol ke arah pemuda itu. Namun, salah satu yang lain, kelihatannya ketua komplotan itu, melarang anak buahnya yang hendak menembak pemuda itu.
“jangan!” ucap ketua komplotan itu sembari menahan acungan pistol yang ada dalam genggaman tangan salah seoang anak buahnya,”pemuda ingusan macam ini terlalu beruntung bila harus mati seketika kau tembak. Biar aku yang menghajar pemuda ingusan ini, biar ku buat tulang sekujur tubuhnya remuk redam, biar tahu rasa dia.”
“bbb…bb…baik, Boss.” Salah seorang anak buahnya itu menurunkan acungan pistolnya, tak berani dia menantang perintah sang Bos, yang tak lain dan tak bukan adalah Cokro Sumantoro, rajanya bajingan yang begitu ditakuti karena kesaktiannya yang memang sudah terkenal benar-benar ampuh.
“apa maumu anak muda? Apa pula maksud kedatanganmu tiba-tiba yang mengganggu kesenangan kami?” Tanya Cokro.
“ah, dasar bajingan tengik tolol! Lucu sekali kau! Bodoh sekali kau! Ini rumahku, tolol! Seharusnya justru aku yang menanyakan hal tersebut kepadamu?” timpal pemuda itu, tak gentar sedikitpun.
Semua anak buah cokro dan cokro sendiri terkejut mendengar ucapan bernada menantang itu keluar dari mulut pemuda ingusan di hadapannya itu. Sesaat, semua anak buah cokro tampak semakin geram, pun cokro sendiri, namun cokro bisa mengendalikannya, tidak ada kebanggaan bagi bajingan kelas kakap macam dia untuk geram dan terpancing emosi akan ucapan pemuda ingusan itu.
“aku akui anak muda, kau memang punya cukup nyali untuk mengucapkan kata-kata itu kepadaku. Tapi, kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Kau salah orang jika mengucapkan kata-kata itu kepadaku, anak muda!!!”
“kau juga salah masuk rumah jika hendak merampok, bajingan tengik! Kau juga salah orang jika mengucapkan ancaman itu kepadaku! Ah, aku pun tak peduli sedang berhadapan dengan siapa? Aku juga tak peduli siapa kau sebenarnya? Yang aku tahu kau hanyalah bajingan tengik yang tiada punya sopan santun sama sekali masuk rumah orang seenaknya sendiri tanpa permisi!” ucap pemuda itu tak kalah gentarnya. Ah, entah apa yang membuat pemuda ingusan itu tiba-tiba seberani itu, meskipun dia sendiri menyadari bahwa sekawanan perampok itu tentunya bukan sembarang perampok biasa melainkan sekawanan perampok kelas kakap yang tentunya juga dibekali kesaktian melihat semua penjaga rumah dan seluruh keluarganya lelap pulas tak sadarkan diri seolah sedang mati suri saja.
Satu mungkin yang membuat pemuda ingusan itu sebegitu beraninya, yaitu keyakinan di dalam lubuk hatinya bahwa selemah apa pun kebenaran dan sekuat apapun kejahatan, kebenaran bagaimanapun akan menang. Karena kebenaran bersumber dari Tuhan Yang Maha Kuat yang kekuatanNya tiadalah ada yang menandingi bahkan seandainya seluruh alam raya bersatu padu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menandingi kekuatan Tuhan, semua itu hanyalah bagaikan setitik air di hamparan samudera luas.
“ah, kau terlalu banyak cakap anak muda! Apakah itu karena kau juga punya kesaktian sehingga kau berani menantangku, Cokro Sumantoro, rajanya bajingan!”
Sejenak pemuda itu sedikit terperanjat mendengar nama Cokro Sumantoro, seolah ada kekuatan magis dari nama itu yang tiba-tiba menghembuskan aliran angin berhawa dingin menyeramkan ke seluruh ruangan yang membuat bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. Namun, sesaat kemudian pemuda itu bisa menguasai keadaan, bisa menguasai dirinya yang tiba-tiba terserang hawa dingin menakutkan yang membuat keringat dinginnya mengucur dari sekujur tubuhnya.
Dia sebenarnya tidak banyak tahu tentang siapa itu Cokro Sumantoro. Namun, dia pernah beberapa kali mendengar nama itu menjadi “buah bibir” di kalangan polisi, di kalangan wartawan surat kabar kriminal serta di acara berita seputar kriminal stasiun-stasiun televisi swasta.
“aku tiadalah punya kesaktian apa-apa wahai Cokro Sumantoro, yang aku punya hanyalah keyakinan akan Tuhan Yang Maha Benar. Kebenaran bagaimanapun juga lemahnya akan tetap menang. Dan, kejahatan bagaimanapun juga kuatnya akan tetap kalah.”
“hmmm, jadi kau hendak bilang bahwa kau berada di pihak yang benar dan aku di pihak yang salah, begitu? Dengan begitu, betapa sakti dan kuatnya aku, dan betapa lemah dan tak berdayanya kau, aku hendak kalah dan bertekuk lutut dihadapanmu, begitu?”
“hmmm, kau cukup cerdas memaknai kata-kataku rupanya.”
“kau juga cukup cerdas menyerang mental musuhmu dengan sugesti kata-katamu itu, anak muda!”ucap Cokro, sorot matanya terlihat tajam menusuk,”tapi kau lupa bahwa kau sedang berhadapan dengan seorang Cokro Sumantoro. Terimalah ini anak muda!!!”
Sesaat kemudian, secepat kilat Cokro Sumantoro melesat dengan sebilah belati di tangan ke arah pemuda ingusan itu. Sementara pemuda ingusan itu, kedua bola matanya tampak membelalak terkejut menangkap sekelebat bayangan Cokro Sumantoro yang tiba-tiba secepat kilat melesat menyerang dirinya. Sejenak, pemuda itu terpana, tak tahu harus berbuat apa, tak bisa mengontrol dirinya. Hmmm, mungkin ini akan menjadi akhir pemuda ingusan itu.
“matilah kau anak muda!!!!!” teriak Cokro.
Cokro Sumantoro melayangkan sebilah belati di tangan kanannya tepat ke arah ulu hati pemuda itu. Sekilas, kelihatannya ujung belati itu akan mendarat tepat di ulu hati pemuda ingusan itu.
Dan……………….., ah, betapa terkejutnya Cokro Sumantoro. Betapa tercengangnya semua anak buahnya. Mulut mereka tampak melongo tak percaya menyaksikan pertarungan itu. Seorang pemuda ingusan itu mampu menangkis serangan secepat kilat penuh tenaga dalam dari Cokro Sumantoro. Hanya dengan tangan kirinya pemuda itu menangkap pergelangan tangan kanan Cokro yang kekar itu, lalu memelintirnya hingga sebilah belati di tangan kanan Cokro itu jatuh ke lantai.
Cokro terdengar meringis kesakitan pergelangan tangan kanannya dipelintir oleh pemuda itu. Kedua bola mata Cokro membelalak antara murka, menahan sakit dan seolah tidak percaya serangan secepat kilatnya bisa ditepis oleh seorang pemuda ingusan dihadapannya itu.
‘sudah ku bilang, sekuat apapun kejahatan tidak akan menang melawan kebenaran selemah apapun itu.”ucap pemuda itu sembari mengepalkan tangan kanannya, bersiap menghantamkan serangan balik ke arah Cokro. Namun, sebelum itu, sebelum pemuda itu melayangkan pukulannya, pemuda itu terlihat memejamkan matanya. Lalu, mulutnya tampak komat-kamit mengucapkan sesuatu, tapi terdengar bukan seperti mantra pada umumnya.
“kejahatan bagaimanapun juga akan mati di tangan kebenaran.” Ucap pemuda itu.
Pada itu, tiba-tiba angin berhembus membawakan hawa dingin kematian yang sangat menyeramkan. Tapi, bukanlah pemuda itu yang kini merinding berdiri bulu kuduknya, melainkan Cokro Sumantoro. Kedua bola matanya melotot tajam seolah mau keluar, tapi bukan karena murka melainkan karena merinding ketakutan mendengar ucapan pemuda itu. Satu kata yang begitu terngiang di telinga Cokro Sumantoro adalah ‘mati’!
Pada itu, namun dalam ruang dan waktu yang berbeda, Cokro Sumantoro seolah tiba-tiba berada di suatu lorong gelap tanpa cahaya. Dan, disitulah tiba-tiba Cokro Sumantoro berteriak menjerit kesakitan karena sesuatu tampaknya sedang mencoba keluar dari dalam tubuhnya. Sesuatu itu adalah sesosok monster siluman menyeramkan mirip gerandong dan buto ijo. Sesuatu itulah yang selama ini membuat tubuh Cokro Sumantoro sakti dan ampuh.
Sesaat setelah sesosok monster siluman menyeramkan itu keluar dari dalam tubuhnya, nafas Cokro Sumantoro terengah-engah. Tubuhnya kini terasa lemah tiada berdaya, kedua kakinya terasa lemas, lalu roboh bertekuk lutut di hadapan monster siluman itu.
“kk…kk…kkee…kenapa kau keluar dari dalam diriku?”
“karena kau akan mati, Cokro! Jika kau mati, aku pun akan mati. Karena itulah aku keluar dari dalam tubuhmu, Cokro!”
“a…aa…apa?”
“kau akan mati, Cokro! Kau akan mati, Cokro!”
“bajingaaaannnn! Pengkhianat kau!!!”
“kaulah yang bajingan, Cokro! Dan, kau tak usah menghardikku seperti itu, Cokro! Ingat, Cokro! Kau akan mati sebentar lagi! Kau akan mati, Cokro! Mati….mati….mati…..!!!!”
Monster siluman itu seketika lenyap dari hadapan Cokro Sumantoro, namun suara ‘mati’ itu masih terngiang dengan jelas di telinga Cokro.
Sesaat kemudian, tubuh Cokro Sumantoro seolah melayang kembali ke dalam ruang dan waktu yang sesungguhnya dimana pemuda itu bersiap menghantamkan pukulannya ke tubuh Cokro. Dan, belum sempat Cokro tersadar betul bahwa dia telah kembali ke dalam ruang dan waktu yang sesungguhnya, pemuda itu telah menghantamkan kepalan tangan kanannya tepat ke arah ulu hati Cokro Sumantoro. Dan, entah kekuatan apa dan darimana yang ada pada kepalan tangan pemuda ingusan itu. Cokro Sumantoro terpelanting ke belakang sejauh hampir sepuluh meter. Cokro Sumantoro memuntahkan darah segar dari mulutnya. Lalu, sesaat kemudian roboh ke lantai tak berdaya, tak berdaya sama sekali. Cokro Sumantoro telah mati di tangan pemuda ingusan biasa.
“hmmm, Somat, apakah kau tahu pemuda ingusan yang telah membunuh Cokro?” tanya Bang Cuplis kepada Bang Somat di dalam ruangan jeruji itu.
“gua tidak tahu. Tapi gua yakin, pemuda ingusan itu bukanlah pemuda biasa. Pemuda ingusan itu pasti juga memiliki kesaktian seperti Cokro Sumantoro.”
“tidak!”tiba-tiba pemuda yang sedari tadi dengan tenangnya duduk membaca buku di pojok ruangan jeruji itu menyeletuk,”aku memanglah pemuda ingusan biasa. Aku juga sama sekali tidak memiliki kesaktian seperti Cokro Sumantoro. Aku hanyalah pemuda ingusan biasa yang yakin seyakin-yakinnya bahwa ‘kejahatan bagaimanapun juga akan mati ditangan kebenaran’.”
Semua mata di dalam ruangan jeruji itu kini tertuju kepada pemuda yang sedari tadi dengan tenangnya duduk membaca buku di pojok ruangan jeruji itu.