Minggu, 06 Januari 2008

Ujung Jalan Yang Tak Berkesudahan

Ujung jalan yang tak berkesudahan
Kakiku serasa lumpuh tak berdaya, lemas, lemas sekali selayaknya orang tua yang terseang penyakit lumpuh tulang. Kurasakan sebuah benjolan tulang bulat pada lututku seperti nyaris akan lepas begitu saja, serasa bagian itu baru saja ditendang-tendang sepatu perang para tentara, dipukul-pukul kayu balok keras amukan massa yang membabi buta. Otot dan urat pergelangan kakiku terasa ngilu-ngilu semua, sangat bahkan, seolah mau putus saja, putus karena sayatan pisau belati yang tajam, perih sekali rasanya. Kalau boleh memilih, mungkin aku lebih baik merasakan sakit asam urat berkepanjangan daripada aku harus merasakan kakiku seperti ini. Betapapun sakit dan ngilunya asam urat, aku mungkin masih bisa memaksakan kedua kakiku untuk berjalan, sekalipun harus dengan perlahan-lahan dan tertatih-tatih. Sedangkan apa yang menimpa kedua kakiku saat ini, kalau boleh aku memperbandingkan, mungkin tiga kali lipatnya daripada sakit asam urat berkepanjangan, lebih bahkan.
“hhhsssssstttt …. “ desisku berulang-ulang menahan sakit yang amat sangat.
Entah penyakit macam apa yang sedang menjangkiti kedua kakiku ini. Entahlah, yang jelas semua ini karena ujung jalan yang tak berkesudahan ini. Sejauh apapun kaki ini melangkah mencoba menyusuri ujung jalan itu, tetap saja tiada berkesudahannya, tetap saja masih ada ujung jalan yang lain lagi jauh di seberang depan sana. Ku coba paksakan lagi, aku kuatkan lagi kedua kakiku ini untuk terus melangkah mencoba menggapai ujung jalan yang sesungguhnya, ujung dari segala ujung. Tapi …, tapi tetap saja tiada berkesudahannya, tetap saja masih ada ujung jalan yang lain lagi, jauh, sangat jauh, amat sangat jauh di ujung seberang depan sana. Begitu terus saja, dan terus saja begitu. Putus asa aku! Patah arang aku! Tak sanggup lagi aku!
“ah! Kau ini cengeng sekali! Baru segitu saja kau sudah hampir mau menyerah. Lagi, bukankah kau ini seorang pembunuh? Seorang pembunuh berdarah dingin yang sadis dan kejam, tak berhati nurani dan tak berperikemanusiaan. Ah! Tentu saja bajingan bangsat macam kau ini tak punya hati nurani apalagi rasa kemanusiaan. Kau ini iblis! Makanya yang kau punya hanyalah hati nurani iblis dan rasa keiblisan! Dan, bukankah kau begitu bangga menjadi iblis? Bukankah iblis itu sama sekali tiada kenal lelah? Lalu, kenapa kau kini tiba-tiba menjadi lemah seperti itu, ha?!” suara bernada mengejek itu terdengar menggema dari dalam diriku, membuat darah keiblisanku semakin memanas, tak sudi aku diejek seperti itu, apalagi dibilang lemah.
Ku coba melangkahkan kembali kedua kakiku menyusuri jalan menuju ujung jalan, namun, “aaarrrrgggghhhhhssssttttt ….!!!” Kedua kakiku benar-benar roboh kali ini, aku meringis kesakitan sejadi-jadinya, kakiku serasa tertancap ribuan duri tajam beracun, namun juga serasa lumpuh mati rasa tiada berdaya seolah tiada lagi bertulang belulang, hanya tinggal kulit luarnya saja.
“Ha…ha…ha….!!!!” Suara tawa dari dalam diriku itu begitu memekakkan telinga, begitu memuakkan,”Hei, kau iblis lemah! Ah, tidak, tidak. Kau bahkan tidak pantas menyandang gelar iblis karena kelemahanmu itu, kau tidak pantas mengaku sebagai iblis, kau lebih pantas dipanggil bajingan bangsat pecundang! Ya, kau sangat pantas dipanggil seperti itu, bajingan bangsat pecundang yang lemah tiada berdaya…..! ha … ha … ha …ha … ha… ha…!!!”
Suara tawa itu tak hanya memekakkan telinga, tapi juga menghina diriku, menghina habis-habisan. Aku begitu bermuram durja. Darah pembunuhku mendidih menjalar ke seluruh tubuh, tanganku mengepal keras, ingin sekali aku membunuh, tapi siapa yang harus aku bunuh disitu? Tidak ada seorangpun disitu, hanya aku yang terduduk lemah tiada berdaya.
“Diiiaaaammmmm ….. !!!!” pekikku tak kalah kerasnya, hingga burung-burung yang sedang hinggap di pepohonan sekitar pun terbirit-birit beterbangan, seolah tahu bahwa aku, si pembunuh berdarah dingin berjuluk The Devil alias Si Iblis ini sedang murka. Lalu, angin bertiup membahana menerbangkan dedaunan yang gugur dari pohon-pohon di sekitarku, menghembuskan hawa dingin yang menyeruak serta menimbulkan bunyi suara yang menyeramkan yang membuat bulu kuduk setiap orang pasti akan berdiri mendengarnya, tapi tidak bagiku, karena aku adalah The Devil, Sang Iblis neraka jahanam. Suara tawa bernada menghinaku itu pun lenyap seketika, kabur tersapu oleh hembusan angin barusan.
“hhhhhssstttt….” Aku mendesis menahan sakit yang ku rasakan amat sangat pada kedua kakiku. Bah, Iblis masih bisa merasakan sakit juga rupanya? Ah, tidak, tidak. Aku hanyalah seorang manusia biasa yang juga bisa saja merasakan rasa sakit. The Devil atau Iblis hanyalah sebatas julukan saja yang melekat pada diriku, seorang pembunuh bayaran paling kejam dan sadis di negeri ini yang selalu menghabisi korban-korbannya dengan cara mutilasi terlebih dahulu seebelum benar-benar dibunuh. Kejam dan sadis, bukan? Tak usah kau bayangkan terlebih dahulu untuk sekedar menjawab iya. Aku memanglah sangat kejam dan sadis. Barangkali karena alasan itulah mereka, orang-orang yang menyewa jasaku sebagai pembunuh, menjulukiku dengan sebutan The Devil alias Si Iblis. Dalam diriku yang manusia, aku adalah sesosok Iblis yang kejam dan sadis, namun dalam diriku yang Iblis kejam dan sadis, aku adalah seorang manusia biasa pada umumnya yang juga masih bisa merasakan rasa sakit seperti yang sedang aku rasakan ini. Dan, kalau boleh aku memilih sekali lagi, aku lebih memilih untuk menjadi manusia seutuhnya, bukan manusia setengah iblis, sama sekali tak pernah sedikitpun terbersit rasa di dalam lubuk hati terdalam untuk menjadi makhluk setengah manusia setengah iblis, seperti halnya seorang pelacur yang sama sekali tiada pernah terbersit keinginan untuk menjadi seorang pelacur. Kehidupan. Ya, kehidupanlah yang seolah telah memaksaku untuk berubah menjadi manusia berhati iblis, setengah manusia setengah iblis.
Semuanya berawal pada 20 tahun silam ketika aku masihlah seorang bocah berusia 10 tahun. Segalanya berawal pada suatu malam, suatu malam yang telah merubah jalan hidupku secara mendadak, suatu malam pembantaian, suatu malam ketika para perampok itu menyatroni rumah keluargaku. Namun, mereka tidak saja merampas habis seluruh harta seisi rumah, tapi juga membunuh dengan keji ayah dan ibuku, merampas keperawanan kakakku sebelum membunuhnya dengan kejam dan sadis. Dan, tinggallah aku. Ya, tinggal aku saja yang tersisa. Namun, entah mengapa mereka membiarkanku tetap hidup, bahkan merekalah yang merawatku sampai sedewasa kini, dan mereka pula yang mendidikku bagaimana cara membunuh dengan kejam dan sadis.
“iblis jahanam kalian! Kenapa tidak kalian bunuh saja aku sekalian?!” teriakku saat itu menantang.
“karena aku menginginkan kau menjadi penerus kami. Suatu saat nanti, aku ingin kau tumbuh menjadi seorang pembunuh yang kejam dan sadis, bahkan lebih kejam dan sadis dari pada kami. Kau mengerti itu bocah tengik?!” bentak salah seorang dari mereka, tampaknya dialah ketua komplotannya, sembari menjambak rambutku dan menatapkan bola mataku tepat pada sorot matanya yang bengis, sorot mata iblis.
“ya, dan suatu saat nanti, aku juga akan membunuh kalian semua dengan cara yang sekejam-kejamnya dan sesadis-sadisnya.” Ucapku dalam hati.
Kini 20 tahun berlalu sudah. Pun dendam kesumatku terbalaskan sudah. Ku bantai mereka satu persatu. Ku penggal kepala mereka. Lalu ku remuk redakan kepala begundal-begundal bangsat itu. Sebagai bonus, ku potong alat kelamin mereka.
“ini untuk kakakku.” Ucapku waktu itu dengan sebilah samurai bersimbah darah segar di genggaman tangan kananku.
Kedua kakiku masih saja terasa lumpuh tiada berdaya. Terduduk selonjor kaki aku, tertunduk lemas wajahku, di ujung jalan yang tiada pernah berkesudahan ini.
Kurasakan kehangatan di pipiku. Ah, ternyata air mataku yang menetes membasahi pipi. Ah, Aku bisa menangis lagi rupanya setelah sekian lama aku tiada pernah bisa menangis. Menyesalkah aku karena telah membantai mereka dengan kejam dan sadis seperti seekor kucing lapar yang membantai dua puluh ekor tikus dalam sekejap? Ah, tidak. Aku sama sekali tidak menyesali pembantaian itu, aku justru merasakan suatu kenikmatan tersendiri melakukannya. Aku menangis karena teringat ayah, ibu dan kakakku. Aku menangis karena setelah pembantaian itu, aku merasa ketagihan untuk membunuh orang dengan kejam dan sadis. Aku menjadi seorang iblis pembunuh bayaran yang paling kejam dan paling sadis. Aku bagai malaikat pencabut nyawa yang begitu ditakuti, bahkan oleh sesama kawan pembunuh bayaran sekalipun. Dan lagi, aku benar-benar merasakan kenikmatan tersendiri ketika memutilasi tubuh korban-korbanku itu sebelum membunuh mereka. 97 orang aku bunuh sudah. A Psycho Killer. Ya, aku berubah menjadi pembunuh gila, gila membunuh. Hingga akhirnya aku merasa jenuh sudah dengan semua ini, jenuh sudah aku berlumuran darah mereka yang tiada pernah berdosa kepadaku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan semua ini. Hingga akhrinya aku membulatkan tekad untuk pergi melangkah tanpa arah, pergi melangkah kemana kaki melangkah, pergi melangkah menuju ujung perjalanan hidupku, berharap bisa bertemu seseorang yang bisa menuntunku ke arah pertaubatan untuk menebus semua dosa-dosaku.
Tapi, ah, ujung perjalanan hidupku benar-benar tak berujung seperti halnya ujung jalan tak berkesudahan yang aku tapaki ini, yang membuatku lumpuh tiada berdaya ini.
Ah, di jalan ini, aku memang pada awalnya bertemu dengan seorang pendeta yang aku anggap bisa menuntunku ke pertaubatan, ujung perjalanan hidupku. Tapi ….
“Bapa, dosa-dosaku sangatlah begitu besar. Apakah Tuhan akan berkenan menerima taubatku?” tanyaku saat itu.
“oh, tentu anak muda. Tuhan Maha Pemurah Maaf. Tuhan akan menyambut dengan gembira hambaNya yang mau bertaubat.”
“tapi, dosa-dosaku sangatlah amat begitu besar sekali, Bapa. Apakah Tuhan masih berkenan menerima taubatku?”
“Ampunan Tuhan tiadalah terbatas anak muda. Sekarang, katakanlah kepadaku, apakah dosa-dosamu yang kau anggap sangat begitu besar itu?”
“aku telah membunuh 97 orang. Apakah Tuhan masih berkenan menerima taubatku, Bapa? Katakan iya, Bapa. Katakan iya.” Rengekku seperti anak kecil sambil berlutut di bawah kakinya.
“Dosamu terlalu besar untuk diampuni oleh Tuhan, anak muda. Tuhan tidak akan pernah mengampunimu anak muda.”
Lalu, pendeta itu pun berpaling acuh tak acuh begitu saja kepadaku. Darah pembunuhku kembali mendidih. Ku lepas samuraiku dari sarungnya. Dan …..
“Bbbeettt …. Kkrrreeessshhhhh…!!!” ku penggal leher pendeta itu dari belakang, darah segar mengucur, kepala dan tubuhnya roboh ke tanah.
98 orang telah ku bunuh.
Lalu, aku bertemu dengan seorang biksu.
“dosa-dosaku setinggi langit, seluas bumi, sedalam lautan. Apakah Tuhan masih berkenan memberiku ampunan?”
“Ketahuilah anak muda, Ampunan Tuhan melebihi tingginya langit, melebihi luasnya bumi, melebihi dalamnya lautan. Sekarang, katakanlah kepadaku, apa dosa-dosamu yang seluas alam raya itu?”
“aku telah membunuh 97 orang, dan baru saja membunuh seorang pendeta. Apakah masih ada ampunan Tuhan untukku?”
“setinggi apapun, seluas apapun, sedalam apapun ampunan Tuhan, tidaklah pantas Dia memberikannya kepadamu.”
Mataku membelalak bengis. Darah pembunuhku kembali mendidih. Dan …..
“Bbeeettttt….Kkrrreeessshhhh.”
Tubuh Biksu itu terkapar ke tanah terpisah dengan penggalan kepalanya.
99 orang aku bunuh sudah.
Lalu, aku bertemu dengan seorang ulama.
“aku telah membunuh 97 orang, dan baru saja memenggal kepala seorang pendeta dan seorang biksu.”
Sekilas, ku tangkap sorot tersentak kaget pada wajah ulama itu.
“adakah Tuhan masih berkenan mengampuniku dan menerima taubatku? Asal Anda tahu, pendeta dan biksu itu kupenggal lehernya karena menjawab ‘tidak’.”
Raut wajahnya terlihat semakin tersentak kaget, meskipun dia mencoba mengendalikan dirinya.
“Tentu anak muda, jika kau berniat untuk benar-benar bertaubat sungguh-sungguh, Tuhan pasti akan membukakan pintu ampunanNya lebar-lebar untukmu.” Jawabnya dengan tenang.
“ah, benarkah itu?” tanyaku spontan, kelegaan terpancar di wajahku.
“benar sekali anak muda. Tapi, dengan syarat….”
“apa syaratnya? Katakanlah ? Apapun syaratnya akan aku sanggupi demi ampunan Tuhan kepadaku” tanyaku buru-buru memotong perkataannya.
“Tuhan akan mengampunimu setelah sanak family dari orang-orang yang telah kau bunuh itu juga bersedia mengampunimu.”
“jadi, maksud anda aku harus meminta maaf kepada semua keluarga dari orang-orang yang telah aku bunuh itu, begitu?!?!”
“iya. Begitulah seharusnya anak muda.”
Ah, sialan! Tolol dan konyol sekali jika aku harus meminta maaf kepada orang sebanyak itu. Ah, dia telah sengaja mempermainkanku rupanya. Dia hanya pura-pura menenangkan diriku sesaat saja rupanya, agar tidak dipenggal kepalanya olehku. Ah, sama saja dia bilang “tidak” kepadaku. Darah pembunuhku kembali mendidih. Dan ….
“Bbeettt…Kkrrreeessshhhh.” Satu tubuh kembali terkapar ke tanah bersimbah darah dengan kepala terpisah.
Genap 100 orang terbunuh sudah di tanganku.
Air mataku semakin membasahi pipi mengingat semua itu, tangisku sedikit tersedu. Aku sungguh menyesal. Ku tundukkan wajahku memandangi kedua kakiku yang masih saja selonjor lumpuh tiada berdaya di ujung jalan yang tak berkesudahan itu. Merenung aku sejenak.
Ah, pendeta dan biksu itu memang benar. Ampunan Tuhan tiadalah terbatas kepada semua manusia. Tapi, aku tiadalah pantas lagi menerima ampunanNya, karena aku ini bukanlah lagi manusia melainkan iblis. Dan, ulama itu juga benar. Tuhan pasti mengampuniku, asalkan sanak kerabat dari orang-orang yang telah aku bunuh juga ikhlas memaafkanku. Tapi, aku yakin mereka tidak akan memaafkanku, karena aku ini bukanlah lagi manusia melainkan iblis. Dan, tiada lagi ampunan Tuhan untukku. Karena Iblis adalah musuh Tuhan, karena Iblis adalah pembangkang perintah Tuhan.
Ah, mungkin satu-satunya jalan yang membuat mereka tertawa adalah kematianku. Ya, kematianku adalah tawa gembira mereka. Dan, bukankah membuat orang tertawa gembira itu berarti menghibur mereka? Bukankah Tuhan mengasihi orang yang menghibur orang lain?
Ah, tapi? Siapakah yang harus aku suruh untuk membunuh diriku? Tidak ada seorangpun disini selain diriku. Haruskah aku yang membunuh diriku sendiri? Haruskah aku sendiri yang mengakhiri semua ini?
Ah, Ya. Kau sendirilah yang harus mengakhiri semua ini. Kau yang mengawali, dan kau pula yang harus mengakhiri.
Ya. Baiklah kalau begitu. Biarlah aku yang menjadi kunci akhir dari ujung semua ini. Ujung dari segala ujung. Biarlah aku yang menjadi ujung daripada ujung perjalanan hidupku yang tiada berujung. Biarlah aku pula yang menjadi ujung daripada ujung jalan yang tiada berkesudahan ini.
Kuhunuskan ujung samuraiku tepat di ulu hatiku. Dan ….
“Bblleeessss ….” Samurai tepat menusuk ke ulu hatiku, menembus sampai ke punggung belakang tubuhku. Sesaat, aku merasa melayang ke awan, meninggalkan tubuhku yang duduk selonjor kaki dengan sebilah samurai bersimbah darah menembus bagian dada depan dan punggung belakang.
Ah, aku tersenyum lega. Akhirnya berakhirlah sudah semua ini.
Ah, tapi … tapi ….tapi?
Ah, tidak. Semua ini sama sekali belum berakhir. Ku lihat mulut tubuhku itu mengerang-ngerang kesakitan. Terdengar keras, menyeramkan dan menyakitkan sekali erangannya, menggema dan membahana ke angkasa.
Ah, aku tak tahan melihatnya, aku tak kuasa mendengarnya.
Ah, lebih baik aku melayang ke ujung jauh jalan sana saja, biar tidak lagi aku mendengar erangannya.
Ah, tapi, sejauh apapun aku melayang, ternyata ujung jalan ini tetap saja tak berkesudahan. Dan, erangan itu tetap saja terdengar dengan jelas, terdengar keras, menyeramkan dan menyakitkan sekali rasanya. Ah, ternyata ujung perjalanan hidupku pun tiada pernah berujung seperti halnya ujung jalan yang tak berkesudahan ini.

Tidak ada komentar: